Sabtu, 29 Januari 2011

SEKILAS TENTANG AGAMA TAO

Saat ini masih  banyak anak bangsa Indonesia keturunan Tiongkok tidak mengetahui lagi kebudayaan nenek moyangnya, terutama tentang agama yang dianut para leluhurnya. Malah kebanyakan mereka nyatakan, bahwa agama leluhur adalah Kong Hu Cu, selain itu benyak juga yang menganut agama Buddha.


Namun pada kenyataannya, banyak umat Kong Hu Cu atau Buddha yang keturunan Tiongkok, dalam melaksanakan ibadahnya tidak benar-benar menurut aturan yang ada, dapat dikatakan sudah bercampur.
Tanpa mereka ssdarai, kalau tatacara yang sering dilakukan dalam beribadah adalah termasuk juga tatacara agama Tao, yang selalu menyertakan budaya-budaya nenek moyang.


Pada awalnya, nenek moyang bangsa Tiongkok menyembah Tao, dan hingga saat ini sudah tersebar di seluruh dunia. Hanya saja, saat ini sudah banyak perubahan, dikarenakan telah terbentuk paham-paham (sekte) yang menyelaraskan ibadah dengan lingkungan budaya.


Agama Tao, merupakan agama yang bercermin kepada alam semesta, sehingga bagi umat agama Tao dianjurkan untuk hidup sesuai dengan alam (sifat), sehingga akan mendatangkan kedamaian bagi seluruh ciptaan Tao, Tuhan Yang Maha Esa. Agama Tao bersumber dari kitab (buku) yang ditulis oleh Lao Tze, seorang ahli filsafat yang dituakan (tokoh tua).


Tentang Tao dan Lao Tze, secara terpisah dan rinci diurai juga di media ini, semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan keagamaan.

Sekilas Perjalanan Majelis Tao Indonesia


Awalnya, Kusumo mengadakan diskusi kecil dengan teman-teman sejawat di suatu sore. Diskusi tersebtu akhirnya menjurus ke arah moral dan lahirnya agama-agama di dunia. Semuanya meyakini, bahwa agama dapat membawa manusia menuju ke peradaban. Secara kronologis, Kusumo memaparkan terjadinya embrio terbentuknya wadah Mejelis Tao Indonesia yang disingkat MTI.

Pada tanggal 17 Nopember 1989, saya (Kusumo) berbincang dengan kawan-kawan dari berbagai keyakinan beragaman. Perbedaan keyakinan bagi kami tidaklah jadi penghalang untuk mengupas secara bebas. Intinya adalah keberadaan agama-agama di dunia yang pernah ada dan hilang. Saya memaparkan tentang Tridharma, tiga keyakinan yang menyatu, yakni Tao, Konghucu dan Buddha. Yang mana ketika itu saya ditunjuk oleh Pimpinan Pusat Tridharma yang berkedudukan di Surabaya, untuk menjabat Ketua Tridharma DKI Jakarta/Jawa Barat.


Sejak tahun 1984, pemikiran saya terus digeluti oleh Tridharma. Mengapa sampai disatukan, sedangkan ketiganya mempunyai perbedaan-perbedaan ? Bukannya saya tidak suka persatuan, tetapi ingin mencari kebenarannya. Ketiganya mempunyai ciri-ciri khusus, walaupun ketiganya hampir sama. Masing-masing mempunyai nabi dan kitab suci tersendiri, lagi pul lahirnya agama itu saling berjauhan masanya. Manakah yang asli ? Saya gali terus semampu saya, dengan mengunjungi banyak klenteng, vihara dan tempat-tempat suci dari ketiga agama tersebut di dalam dan luar negeri. Saya berkesimpulan, Tao adalah agama tertua dari ketuganya, hanya saja perkembangannya terserap oleh kedua agam sesudahnya. Lebih mendukung lagi adalah ajaran agama tersebut di Tiongkok dapat diterima kaisar-kaisar yang berkuasa pada masanya, untuk kepentingan kekuasaan kekaisaran.


Waktu itu, saya menyadari bahwa meluruskan suatu keyakinan yang dulunya memang ada, pasti mendapat tekanan dari berbagai sisi. Di era pemerintahan Orde Baru, hal-hal demikian jelas sekali mendapat rintangan. Walaupun demikian, saya berkeinginan membentuk wadahnya terlebih dahulu. Dimana wadah ini sebagai tempat berhimpunnya umat agama Tao. Maka dibentuklah Forum Kekeluargaan Tao Indonesia yang disingkat Forgatasia.


Hasil pembicaraan ini diungkapkan Sam Bachtar kepada almarhum Mayor Jendral H. Sugandhi. Beliau seorang tokoh MKGR yang juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung RI. Gagasan ini disambut beliau dengan memberikan beberapa pengarahan.


Kemudian, saya dapat diperetemukan dengan almarhum jendral yang simpatik itu. Saya mengagumi Mayjen Sugandhi sejak beliau bertugas di Medan. Perlu juga saya kemukakan, bahwa awal revolusi 1945, pak Gandhi menjadi ajudan Presiden Pertama RI, Ir Soekarno. Beliau menyarankan, agar bertemu dengan Mayjen H. Daryono, mantan Sekjen Departemen Dalam Negeri/Dirjen Agraria. Jendral yang merakyat ini, mendukung gagasan pembentukkan Forgatasia. Bahkan beliau bersedia menjadi ketua sementara. Almarhum H. Daryono ikut mengoreksi AD/ART Forgatasia di tengah kesibukannya. Gagasan setengah jadi ini, kami bawa pada almarhum Mayjen H. Ahmadi. Beliau setuju dan bersedia menjadi pelindung. Trio ketiga jendral yang merakyat ini mendukung terbentuknya Forgatasia, sehingga embrio wadah Taoisme mendapat dukungan yang kuat.


Forgatasia, terbentuk tanggal 27 Februari 1990 dengan Ketua Mayjen H. Daryono dengan Wakil Ketua Kusumo, Sekretaris dipegang oleh Syamsul Bachtar, SA. Setelah berjalan dengan beragam cobaan, organisasi keagamaan Tao yang baru  terbentuk itu, mendapat sambutan dari umat Agama Tao. Akhirnya setelah berjalan sepuluh bulan diubah kepengurusannya melalui Rapat Anggota. Agar yang beragama Tao yang mengurusnya, maka susunan pengurus berubah. Taosu Kusumo sebagai Ketua Umum dan Ngadiman, BSc sebagai Sekretaris Jendral. Sedangkan ketiga jendral dan Samsyul Bachtar sebagai Penasehat organisasi.


Forgatasia yang bersifat sosial keagamaan dan kemasyarakatan, hanya memberi petunjuk pada umat Tao, agar memahami secara benar agamanya. Selain itu, kegiatannya banyak membantu masyarakat miskin, panti jompo, panti werda, yayasan yatim piatu dengan tidak membeda-bedakan. Juga menyalurkan berbagai bantuan, bagi masyarakat yang terkena musibah di sekitar Jakarta, Bogor dan Tangerang (Jabotabek). Semua dharma sosial itu, tidak digembar-gembokan (dipulikasikan). Ajaran Tao dalam ciri dharmanya, ibarat tangan kanan memberi sesuatu, tangan kiri tidak boleh tahu. Memberi dengan tidak mengharapkan apapun. Penuh akhlas dan saling menyayangi sesama umat Thien (Tuhan) apap pun keyakinan yang dianutnya. (Ksm).