Rabu, 23 Februari 2011

Sembahyang Zhong Yuan, Tanggal Imlek 15 bulan 7


Zhong Yuang disebut sembahyang tanggal 15 bulan 7, juga dinamakan hari Yu Lan Pen yakni bersama-sama sembahyang di kuburan (Qing Ming) dan sembahyang tanggal 15 bulan 10 (Xia Yuan) dikenal sebagai 3 hari setan yang besar, yakni hari besar tahunan di seluruh negeri.

Asal usul sembahyang tanggal 15 bulan 7 dan Tradisinya.

Asal usulnya sembahyang tanggal 15 bulan 7 ini, terdapat beberapa cara ada versi Buddha dan Taoisme. Dalam catatan sejarah, sejak zaman Dinasti We Qi Nan Bei Cao sudah menjadi suatu budaya. Pada tanggal 15 bulan 7 para Biksu harus membuat sebuah keranjang makanan untuk dipersembahkan ke seluruh Vihara. Menurut Yu Lan Pen Jing dalam ajaran Buddha harus membuat 7 turunan pahala untuk menyembah roh-roh yang kesepian dan setan-setan liar.

Dalam kitab Yu Lan Pen Jing mengatakan, seorang Buddha bernama Mu Lian melihat ibunya yang sudah meninggal, hidup bersama sekelompok setan lapar, maka ia menggunakan mengkok berisikan nasi untuk menyuapi ibunya. Tetapi sebelum nasi masuk ke mulut ibunya, sudah berubah menjadi arang, akhirnya ibunya tidak dapat makan.

Melihat kejadian itu Mu Lian sangat terkejut, buru-buru dia melaporkannya kepada Sang Buddha. Menurut Sang Buddha, dosa ibunya berat, Jika Mu Lian melakukannya sendiri tidak dapat menolongnya, harus bersama beberapa orang Biksu, dengan cara pada tanggal 15 bulan 7 menyediakan 5 macam makanan dan ratusan buah-buahan untuk menyembah. Dan Sang Buddha memerintahkan para Biksu memberikan doa bagi 7 turunan ayah dan ibu. Dengan demikian baru bisa makan, sehingga ibunya Mu Lian dapat terlepas dari kesengsaraan setan-setan lapar itu.

Mu Lian juga berjanji kepada Sang Buddha, bahwa dirinya akan menyembah Sang Buddha, dan murid-muridnya yang berbakti juga harus menyembah dengan menggunakan Yu Lan Pen. Demikian asal usul tradisi Yu Lan Pen Buddha.

Mengenai sembahyang 15 bulan 7 ini, Taoisme memiliki dasar tersendiri, dalam catatan tertulis ; pada suatu hari pejabat daerah mengumpulkan masyarakat dan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok orang baik dan orang jahat, kemudian bersama-sama sembahyang di gunung Yi Jin San. Sebelumnya, mereka mengumpulkan bunga, buah-buahan dan barang-barang berharga dari gunung untuk menghias busana. Barang-barang persembahan yang bagus, makanan dan minuman dipersembahkan kepada para dewa. Pada saat itu, setan-setan yang kelaparan dapat menikmati persembahan, sehingga kenyang dan terlepas dari kesengsaraan.

Dalam catatan tersebut tidak disebutkan asal usul Dao Jing, maka hal itu sulit ditelusuri kebenaranyyan. Dari manapun asalnya dari yang dipercaya dan diyakini bahwa Taoisme pada zaman Han dan We tidak ada dasar agamanya, jadi semua merupakan pelajaran dari Buddha.
 
Kita bisa jelas mengetahuinya dari pengertian hari sembahyang tanggal 15 bulan 7 (Zhong Yuan) versi Taoisme, karena tidak boleh berpedoman dari cerita Mu Lian yang menolong ibunya, akibatnya tradisi sembahyang tanggal 15 bulan 7 itu, dalam Taoisme makin lama makin ditinggalkan, sehingga setelah dilakukan pembuktian, dapat diketahui bahwa hal itu adalah merupakan cerita dari Buddha.

Mulanya, hari Sang Yuan menurut pandangan Taoisme menceritakan para dewa yang memberikan rezeki, dan sehingga sekarang hal tersebut masih diyakini. Kemudian sembahyang tanggal 15 bulan 7 (Zhong Yuan) mengandung pengertian setan tanah memberikan pengampunan, tetapi tidak diyakini sebagaimana Mu Lian menolong ibunya dari ajaran Buddha.

Maka tidak heran, kalau hal ini tidak sebesar pengaruh dari ajaran Buddha.
Sementara sembahyang tanggal 15 bulan 10 (Xia Yuan) yang mengandung makna setan air menolong menyelesaikan bahaya, dikarenakan semua daerah sembahyangnya pada tanggal 15 bulan 10. Tetapi sembahyang tanggal 15 bulan 10 (Xia Yuang) malah diabaikan, karena musim dingin sudah tiba, diyakini bahwa setan-setan mulai kedinginan.

Oleh karena itu sembahyang tanggal 1 bulan 10 harus membakar baju kertas atau dinamakan hari sembahyang “bakar baju”. Tradisi seperti ini tidak dilakukan lagi, sehingga banyak masyarakat yang tidak mengetahui adanya sembahyang “bakar baju”.(Arw)

Sejarah Agama Tao


Agama Tao adalah Agama tertua di dunia, yang hingga kini telah mencapai + 4600 tahun riwayatnya. Pada jaman dahulu para guru mempunyai aliran masing-masing, banyak yang menempuh jalan dengan menurunkan ajarannya secara pribadi saja, sehingga belum banyak yang mengungkap secara lebih rinci apa-apa yang ada di dalamnya dan terhadap inti sari Tao. Khalayak ramai banyak yang belum mengerti, bahkan pengertian umum tentang Tao pun masing-masing masih berbeda.

Agama Tao adalah Agama yang ber ke-Tuhanan, menjunjung tinggi derajat nenek moyang, menghormati tata tertib, mencintai sesamanya. Dewa-Dewi termasuk yang disembah/dipuja, namun kebanyakan penganutnya masih belum memahami asal usul dan riwayat dewa-dewi yang disembah/dipujanya itu, mereka hanya mengikuti tradisi saja, bahkan keadaannya sudah merupakan suatu tradisi.

Agama Tao mengharuskan umatnya berke-Tuhan-an, bersembahyang dan menghormati nenek moyangnya masing-masing. Menganggap siapa saja yang berjasa kepada negara atau kepada rakyat banyak serta pernah memberi kejutan atau kemukjijatan, maka boleh dianggap sebagai dewa-dewi dan disembah. Yang dilaksanakan umat Tao adalah : berbaik hati, berbaik mulut, berbaik membaca, berbuat baik, meneladani kebaikan, semua itu guna menyempurnakan dan menyatukan diri dengan alam atau Tuhan (Thian), mengintensifkan alam pikiran ke-Tuhanan tapi tidak tahayul, mengintensifkan sembahyang-sembahyang tapi tidak berlebihan atau pemborosan.

Agama Tao tidak menolak agama lain dan dapat menghormatinya, hingga dapat berkembang secara berdampingan dan damai. Penyebaran agama Tao sangat luas, dari Asia, Afrika, Amerika, Eropa bahkan daerah-daerah lain juga banyak penganutnya. Menurut statistic yang tak resmi saja kira-kira ada 50 juta lebih, inipun yang sudah terdaftar, namun penganut biasa yang belum terdaftar pasti masih banyak lagi. Didalam persoalan rumah tangga, agama Tao mengajarkan harus dapat mempertahankan tata rumah tangga yang harmonis, membimbingnya menuju kejalan yang penuh kebahagiaan. Di dalam bidang melatih Fisik dan Mental, sama-sama dipentingkan sehingga dapat mencapai 3 arus berkumpul diatas kepala dan 5 hawa bersatu dan menyatu dengan alam / Tuhan (Thian) didalam tingkah laku kehidupan, Sabar, Hemat, dan menahan diri menjadi salah satu pedoman.

Agama Tao (Taoisme) mengajarkan untuk mempelajari, menekuni, dan melaksanakan Taoisme sebagai pola utama. Taoisme merupakan sumber yang muncul dan berkembang paling awal, yang berasal dari Xian Yuan Huang Di dan sudah menjadi milik bangsa Tiongkok dari semenjak dahulu kala.

Asal mula agama Tao berawal pada Huang Di, lalu berkembang kepada Lao Tze, kemudian terbentuklah agama pada guru agung Zhang Dao Ling, para Cendikiawan pada jaman negara-negara berperang, pada dinasti Qin dan Han, semua mengagungkan ilmu Huang Di dan Lao zi, dengan menyebutnya sebagai keluarga Tao.

Dinasti Tang dan Song mengumumkan serta menganut dasar pemikiran ilmu agama Tao, meyakini dan mempercayai juga mengagungkannya. Karena penyebaranya dari bangsa Tionghoa, maka agama Tao dipandang sebagai agama Tiongkok sejak dahulu kala. Mengenai agama lain, semuanya bukan sebagai agama asli milik Tiongkok. Presiden Jiang pernah mengatakan “ Kita tidak bisa memungkiri bahwa agama Tao adalah salah satu agama yang asli milik Tiongkok”.

Agama Tao berazaskan kesetiaan, berbakti dengan menghormati langit dan menghormati leluhur, menguntungkan segala benda serta membantu manusia. Sebagai tugas yang berbeda dari agama lain adalah : Berazaskan bebas merdeka, persamaan derajat, dan kedamaian. Prinsip dari agama Tao adalah untuk belajar, menekuni dan melaksanakan Taoisme tanpa batasan, maka akan tampaklah keindahannya. Usaha menekuni ilmu keluarga Taoisme terbagi 2 (dua) bidang, yaitu : Ilmu keluar dunia dan masuk ke dunia. Ilmu keluar dunia adalah mementingkan (memelihara watak dan tingkah laku menuju kemurnian), dengan tujuan melampaui hidup biasa untuk masuk ke dalam kesucian.

Sedangkan Ilmu masuk ke dunia menitik beratkan kepada (kesetiaan, kebaktian, kasih sayang, hidup hemat), tujuannya adalah untuk memperbaiki diri, menguntungkan orang lain. Berlatih ilmu keluar dunia dapat merangkap berlatih ilmu masuk ke dunia, berlatih ilmu masuk ke dunia juga dapat merangkap berlatih ilmu ke luar dunia, semuanya sama sekali tidak ada pembatasan atau perbedaan namun cenderung ke satu bidang.

Agama Tao adalah suatu agama dewata yang menghormati Tuhan, meneladani leluhur, semua suci murni bawaan suci kedewaan duniawi, serta roh dewa dewi negara dan daerah setempat, masing-masing disembahyangi menurut keyakinan rakyat, bagi yang menyembah suci murni bawaan, dapat merangkap menyembahyangi roh dewa duniawi juga boleh menyembahyangi suci murni bawaan, tanpa ada larangan.

Dewa tertinggi agama Tao adalah Tri Suci, berada dialam tanpa kutub: Yang Mulia Yu Qing, Yang Mulia Shang Qing, dan Yang Mulia Thai Qing. Selanjutnya adalah dewa terhormat dialam Thai Cik : Yang Mulia Tao Lao, Tuhan (Allah), serta Kaisar Agung Empat Kutub, Kaisar Agung Tiga Pejabat, dan para pengatur bintang selatan dan utara serta raja para bintang dan lain-lainnya. Dan ini berhubungan dengan munculnya sebelum langit dan bumi terpisah, maka disebutlah Suci Murni Asli.

Agama Tao disebut juga Keluarga besar/rumpun Taoisme, bermula dari Huang Di. Menurut sejarah kuno menyebutkan bahwa Huang Di pergi kegunung Kong Tong Shan lalu beliau bertanya kepada Guang Cheng Zi, mengenai cara mengatur bangsa Tionghoa pada masa-masa yang akan datang. Kemudian Huang Di bertapa dan berhasil, terlihat pada siang hari dengan menunggangi naga di danau Ting Hu lalu terbang ke langit.

Kemudian upacara sembahyang pada jaman Dinasti Tang, Yu, Xia, Shang dan Zhou, tabuhan musik upacara semua berasal dari Tao. Pada jaman Zhou, Lao Tze menciptakan Kitab Moral, untuk mengulas inti Zhuang Ze tentang makna agama Tao.

Pada jaman Negara Berperang Gui Gu Zi, Zhuang Zi, dll. Semua menganut ajaran Huang Di dan Lao Tze, merekomendasikan dan menyebar-kan ajarannya, lalu ahli ramal, ahli strategi, ahli kemiliteran dan ahli-ahli yang lain, lambat laun semua memihak ke Taoisme. Karenanya keluarga besar Tao semakin meluas. Hingga jaman dinasti Han, Zhang Dao Ling bertapa di gunung Qing Cheng Shan didaerah pusat Shu (Si Chuan), dan mendapatkan buku Pembuat Obat Sembilan Tungku ( Ini berarti pengalaman yang sangat berharga). Jiu Ding Dan Shu dari Huang Di mempelajari rahasia orang pintar, mendapatkan anugerah langsung dari Tai Shang Lao Jun, menjadikan lambang Kitab Wibawa sekutu Meng Wei Jing Lu, lalu menciptakan tata cara agama Tao dan menentukan pengaturan agama Tao.

Dengan demikian barulah keluarga besar Taoisme secara resmi menjadi suatu agama yang berorganisasi. Orang dengan hormat menyebut Zhang Dao Ling sebagai Guru Agung Zheng Yi Tian Shi. Maka dari itu dikatakan agama Tao bersumber / berawal dari Huang Di, tersebar pada Lao Tze, lalu terbentuklah agama pada Guru Agung Zhang Dao Ling.

Agama Tao semenjak ajaran Guru Agung Zhang Dao Ling pada jaman dinasti Han, telah lama berkembang pesat, semua pedoman dan upacara juga sudah menampakkan bentuknya, namun yang menjadikan agama Tao mendapatkan dasar yang gemilang didalam sejarah bangsa Tiongkok. Boleh dikatakan tidak sedikit mendapatkan bantuan tenaga reformasi Thian Si Dao oleh Kou Qian Zhi dinasti kelompok utara menurut buku Wei Shu Shi Lao Zi atau dengan nama lain Fu Zhen, selalu berminat dengan ajaran dewa.

Masa mudanya mempelajari ilmu Zhang Lu, memakan obat-obatan sekian tahun tidak berhasil kemudian ikut dengan dewa Cheng Gong Xing berkeliling dan masuk ke Gunung Song Shan bertapa hingga mencapai 10 tahun. Hingga dinasti Wei Utara, jaman Shen Rui 2 tahun bulan 10 Yi Mao, menjumpai Tai Shang Lao Jun turun dari langit, dan mengatakan pertapaan Kou Qian Zhi dengan amat antusias lalu diserahi kedudukan sebagai Tian Shi, serta dihadiahi kitab Pedoman “ Yun Zhong Shou Song Xin Khe Jie “ sebanyak 20 jilid. Dan disuruh mengikuti pelajaran baru, menyingkirkan tiga helai ilmu palsu, pungutan pajak berupa uang dan beras, serta ilmu yang tidak wajar penyatuan hawa lelaki dan perempuan, serta menurunkannya kepada Kou Qian Zhi, ilmu rahasia menyalurkan nafas di lunakkan.

Kemudian 8 tahun setelah jaman Tai Chang, dari guru Agung Li Pu Wen menerima kitab “ Lu Tu Zhen Jing “ sebanyak 60-an jilid, berisi cara menggugat , memanggil setan dan dewa, serta cara rahasia mengolah obat ramuan yang dikunci rantai dan getah cair dengan 8 jenis batuan mulia, tempat altar bersembahyang, busana dan upacara, masing-masing mempunyai kualitas berbeda-beda.

Tahun berikutnya dipersembahkan kepada Kaisar Shi Zu (Tai Wu Di), dan disambutnya dengan senang hati. Membangun tempat ibadah di sebelah tenggaranya Ping Cheng yang bertingkat rangkap lima. Mengumpulkan umat Tao sebanyak 120 orang, berdo’a enam kali setiap hari. Kaisar Shi Zu sangat meyakininya, disebut dengan hormat sebagai Tian Shi (Guru Agung). Mengembangkan ilmu ajaran baru, dan diumumkan keseluruh penjuru negeri, akhirnya usaha Tao berkembang pesat! Shi Zu menamai dirinya sebagai Pemimpin Sejati Aman Sentosa, merubah nama tahun menjadi menjadi nama tahun Tai Ping Zhen Jun.

Namun para Kaisar pada jaman Wei belakang, setiap penobatan pasti berkunjung sendiri ke tempat ibadah Tao, menerima rajah dan mantra sebagai penganut ajaran Tao. Agama Tao hingga saat itu, boleh dikatakan sudah mencapai keberhasilan besar. Pada hakekatnya yang disebut Kou Qian me reformasi ajaran Tian Shi Dao, semula bermaksud ingin merebut posisi tradisi Guru Agung Han, namun tidak berhasil. Tetapi terhadap agama Tao sungguh memiliki arti yang dapat dipuji ialah melanjutkan yang terdahulu meninggali untuk yang akan datang dan menyebarkan cahaya terang yang gilang gemilang!.

Mengenai perkataan Qiu Qiong Shan didalam petikan Gai Yu Cong Kao dikatakan: Larangan diudara (angkasa) adalah awal dari upacara puasa pada generasi belakang; mengolah obat dengan mengunci rantai sebagai awal merebus racikan obat oleh generasi sebelumnya dan perkataan yang lain-lainya tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal di dalam agamanya Kou Qian Zhi meliputi upacara berpuasa dengan penyaluran pernafasan dan lain sebagainya. Dengan cara memperbaiki dan menambahkan kekurangan untuk menyempurnakan dan ini sama sekali bukan yang diciptakan olehnya, yang dikatakan sebagai awal, sebenarnya semua itu adalah keliru.

Kitab Suci Tao Te Cing (tentang Pa Kwa) Nabi Lao Tze, mengatakan bahwa : Kebaikan yang belum cukup banyak takkan mengharumkan nama, kejahatan yang menumpuk tidak akan membinasakan, selalu berbuat kebaikan, berbudi baik dan semuanya itu dengan sendirinya akan menjulang. Hal-hal yang buruk bila tidak diubah dan jika selalu dilakukan maka pada suatu saat akan membinasakan diri sendiri.

Dari ilmu pendidikan dapat kita telaah yaitu ; tidak ada jasa yang lebih besar dari pada merubah yang jahat menjadi baik dan tidak ada dosa yang lebih besar daripada merubah yang baik menjadi jahat. Maka seorang yang budiman mempunyai pedoman: mencintai kebaikan dan membenci kejahatan, selalu melakukan kebajikan (perbuatan baik) harus cepat dan tiada hentinya bagaikan air yang mengalir.

Janganlah mengambil sikap menunggu, membuang dan menjauhi hal-hal yang buruk harus dengan tekad yang membaja seperti ingin membalas dendam terhadap sikap yang buruk, yaitu benci akan kejahatan, sehingga jiwa kita akan sepenuhnya tidak akan melakukannya, seperti pepatah mengatakan : Mendengarkan suatu kebaikan dan melihat suatu kebaikan, segeralah kita lakukan, bagai tak keburu, mendengarkan hal yang buruk dan melihat hal yang jahat, segera jauhi bagaikan dikejar setan. Hal-hal yang baik meskipun sedikit lakukanlah, memikirkan yang buruk dan jahat meskipun sedikit janganlah kita lakukan sekali-kali.

Seperti yang dikatakan pada jaman dahulu oleh Raja Lie : Jangan mengenggap hal-hal yang baik dan kecil sifatnya namun tidak dilakukan dan janganlah melakukan hal-hal buruk walaupun sifatnya hanya kecil.


Dalam ajaran Nabi Lao Tze, Teman merupa-kan salah satu kaidah didalam lima kaidah kehidupan manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa berteman (tak dapat hidup secara individualisme) Namun kita juga harus berhati-hati didalam berteman dengan seseorang yang sifatnya jahat, karena jika kita tidak berhati-hati maka akan rugi nantinya. Oleh sebab itu didalam berteman kita juga harus pandai memilih dan selalu berhati-hati.

Nabi Lao Tze bersabda : Utamakanlah kesetiaan dan kepercayaan, tiada seorang teman yang kurang dari kita. Apa yang dinamakan berteman ? menurut sebuah naskah suci Lie Ci mencatat; Orang seperguruan adalah orang sejalan. Nabi Lao Tze bersabda : Bila tidak seperjalanan takkan cocok, Bila kita ingin mencari seorang teman, lihatlah diri sendiri terlebih dahulu, apakah ucapan dan semua kelakuan kita berguna terhadap orang lain.

Jika kita sendiri tidak melihat diri kita tentang ucapan dan perbuatan kita, lalu kita ingin mencari seorang teman yang berguna bukankah hal tersebut sama saja dengan membohongi diri sendiri? jika kita tidak menguasai prinsip yang benar dalam berteman, bagaimana mungkin kita memperoleh seorang teman yang baik. Di dalam berteman haruslah jujur dan tulus hati maka dengan demikian lama kelamaan kitapun akan dihormati orang, selalu saling membantu dan memberi semangat, bersama-sama membina budi pekerti yang baik dan berkarya, saling menasehati, berbuat baik dan menjauhi keburukan, dengan demikian barulah dapat dikatakan mempunyai manfaat dan faedah dalam berteman.

Sun Tze seorang Cendekiawan pada jaman dahulu dalam penulisannya tentang membina diri menuliskan bahwa : “Orang yang tidak sanggup saya imbangi adalah sebagai guruku, orang yang seimbang denganku adalah kawanku, orang yang menjilat padaku adalah maling / pencuri bagiku”. Karena itu seorang yang budiman sangat menghormati gurunya, mengasihi temannya dan sangat tidak suka terhadap maling atau penjilat. (Arw)

Riwayat Hidup Lao Tze


Sumber keterangan mengenai riwayat hidup Lao Tze terdapat dalam karya Szu-ma Chien, yang hidup peda abad pertama sebelum masehi (415-90 sM).

Keluarga Li di Desa Keh Jin dalam distrik Tsow, yang sekarang termasuk wilayah Provinsi Honan, melahirkan seorang putra pada tahun ketiga masa pemerintahan penguasa ke-21 dari Dinasti Chow Timur (771-255 sM), diberi nama Li Peh Yang. Sangat sedikit hal yang menceritakan tentang masa mudanya, kecuali tentang dirinya yang kemudian menjabat sebagai Pengawas Urusan Arsip pada Perpustakaan Kerajaan di Ibukota Loyang.

Jabatannya itu, memberi peluang dan kesempatan bagi Li Peh Yang untuk belajar dan memperoleh pengetahuan secara luas. Setelah memperoleh cukup pengetahuan, iapun banyak mengeluarkan banyak pendapat, dan dikagumi banyak orang. Maka namanya semakin terkenal dan mendapat julukan Lao Tze atau Ahli Pikir Tua.

Lao Tze, dapat juga diterjemahkan sebagai “putra tua”, “sahabat tua”, atau “sang guru tua”, atau sering juga kita terjemahkan sebagai “guru”, merupakan gelar kecintaan dan penghormatan kepada seseorang dan bukan namanya.

Beberapa legenda yang berada di sekitar Lao Tze juga tidak bisa dipisahkan dengan kehidupannya. Dia dikabarkan lahir tanpa dosa, meskipun banyak orang yang tidak tahu betul tentang kelahirannya. Dia dilahirkan tanpa dosa sama sekali oleh sebuah meteor dan dikandung oleh ibunya selama delapan puluh dua tahun. Oleh sebab itu, ia lahir sebagai orang yang sudah tua dengan rambut di kepalanya yang sudah memutih. Dia lahir sebagai orang yang bijaksana dan penuh dengan wibawa.

Berkat pekerjaannya sebagai pemelihara arsip di negaranya, yaitu di sebelah Barat China, maka semua arsip-arsip negara terjaga dengan rapi dan tersimpan di tempat-tempat yang aman, karena dia tergolong orang yang tekun dalam mengurus persoalan kearsipan.

Walau ia sudak cukup terkenal, namun Lao Tze tetap menjadi pengawas urusan arsip. Kemudian terjadi perubahan sikap dan kebijaksanaan para penguasa dinasti Chow, yang semakin hari semakin sewenang-wenang, lebih mengutamakan berfoya-foya dan menuruti kesenangan diri sendiri. Lao Tze merasa hidupnya dalam kehinaan di bawah penguasa yang berprilaku seperti itu. Sekalipun usianya sudah mendekati 90 tahun, Lao Tze meninggalkan tanah kelahirannya.

Dalam perjalanannya mencari dunia baru, pada jalan genting Hankow, seorang perwira pengawas perbatasan bernama Hin Yin mengenali Lao Tze, lalu mencegahnya dan tidak menginzinkannya lewat. Diperlakukan seperti itu, Lao Tze menanyakan : “Kanapa anda tidak memperkenankan saya lewat?”, tanya Lao Tze.

“Tuan guru, anda adalah seorang ahli pikir terbesar, kemasyhuran nama anda sudah terdengar di mana-mana, tetapi anda tidak pernah menuliskan ajaran untuk kami warisi. Jika anda diizinkan lewat, maka kami akan tidak memiliki catatan tentang ajaran anda,” ujar penjaga tersebut.
“Jika saya tuliskan ajaran saya, apakah anda akan mengizinkan saya lewat?” tanya Lao Tze.
“Ya tuan guru,” jawab perwira Hin Yin.

Guna memenuhi permintaan perwira Hin Yin tersebut, Lao Tze berada selama tiga hari tiga malam di daerah perbatasan itu, untuk menuliskan hal-hal terpenting dari ajarannya. Kemudian Lao Tze menyerahkan hasil tulisannya berupa buku tipis yang terdiri atas 5000 huruf Tionghoa, diberinya nama Tao Te Cing yang mempunyai arti Tao dan Kodratnya.
Perwira Hin Yin menerimanya dengan gem-bira, kemudian Lao Tze diizinkan lewat dan melanjutkan perjalanannya menuju ke arah barat, konon menuju Tibet sekarang ini. Berbeda dengan para penyebar agama lain, yang melalui berbagai tantangan dan penuh penderitaan. Lao Tze hanya meninggalkan sebuah buku tipis sebagai warisan.

Agama Tao yang merupakan agama leluhur masyarakat Tiongkok, adalah merupakan agama yang berpegang kepada ajaran Lao Tze, yang hidup pada abad 6 sebelum Masehi (604-517 sM). Lao Tze lebih tua lima puluh tahun dari Kung Fu Tze (551-479 sM).

Gambaran mengenai keseluruhan pribadi Lao Tze didasarkan pada buku kecil (Tao Te Cing) yang diyakini ditulisnya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Namun Lao Tze adalah sosok tokoh yang lain, dia digambarkan dapat menggabungkan dua karakter sekaligus, dia sebagai petapa atau senang hidup menyendiri dan juga sebagai seorang humoris atau orang yang senang bergaul dan menyenangkan untuk semua orang. Sehubungan dengan dia senang untuk bertapa atau menyendiri, maka tidak heran jika para ahli menganggap bahwa ajaran-ajaran Lao Tze sebagai mistisisme atau tasawuf dalam ajaran Islam sebagaimana dipraktekkan oleh banyak filosof muslim di negara-negara Arab.

Kitab yang berjudul Tao Te Cing, dipandang sebagai karya kefilsafatan pertama dalam sejarah Cina. Kitab ini juga diyakini berasal dari Lao Tze dan dipandang orang Cina sebagai pedoman yang amat penting dalam hidup ini. Ini terbukti bahwa sampai sekarang kitab tersebut masih menjadikan acuan jika kita ingin melihat bagaimana alam pikiran Cina masa lampau.

Buku kecil ini dapat dibaca dalam waktu singkat dan meliputi keseluruhan ajaran Tao. Ajaran ini sampai sekarang masih tetap menjadi acuan para pengikut Tao di seluruh dunia. Ajaran Lao Tze ini juga tidak luput dari penafsiran-penafsiran para ilmuan, termasuk menghubungkannya dengan kepentingan dunia gaib dan untuk kepentingan meramal nasib. Tafsiran ajaran Lao Tze yang sangat beragam, melahirkan pandangan orang tentang agama Tao yang berbeda-beda.

Pada akhir riwayatnya, Lao Tze dikabarkan menunggang seekor kerbau dan pergi ke arah Barat, yang sekarang ini daerah tersebut dikenal sebagai Tibet.

Perbedaan Tao dengan Agama Tao


Tao adalah pokok (hakekat) berasal dari jiwa sejati atau hati nurani dan merupakan kebenaran yang kekal serta abadi, diberikan pada setiap manusia yang disebut jiwa sejati dan juga liang Sin serta hati nurani. Hati nurani adalah akar dari hatinya manusia, dan merupakan maha sumber dari jiwa setiap manusia. Kita dilahirkan dari sana, dan kelak jika meninggalpun harus kembali kesana, ini merupakan jalan hidup dan mati yang memang seharusnya kita lalui.

Tao adalah pusaka rahasia yang sejak dahulu kala, merupakan ilmu sejati dari hati nurani yang misterius, dengan diturunkan dari hati ke hati setiap manusia, dan bila bukan karena firman Tuhan Yang Maha Agung, sesuai dengan situasi, maka diturunkan ke dunia ini. Dewa orang suci manapun tidak akan berani menurunkan ajaran ini dan tidak akan membocorkan kerahasiaan serta keajaiban dari ilmu sejati hati nurani ini.

Oleh karena itu kata-kata sucinya tidak tercetak di atas kertas, seperti Kitab-kitab Se Su Cing (Konfucuisme), Agama Tao dengan lima ribu kata terdapat di dalam Tao Tee Cing, Ching Cing Cing, Huang Thing Cing dan lain sebagainya. Kitab-kitab suci dari Nabi Lau Tze, semuanya tercatat sebagai pembuktian rahasia dari Tao yang sejati ini, tetapi tidak ada yang secara terang-terangan membocorkannya, semuanya hanya memberikan dengan kata-kata/isyarat.

Agama merupakan satu daya upaya di dalam lingkaran dan di luar Tao, yaitu usaha-usaha yang bersumber dari Tao, sebagai macam-macam upaya untuk memberikan peradaban kepada manusia di dunia ini, juga merupakan sebagai alat Tao. Tao adalah tubuh pokok, sedangkan Agama adalah alat yang mengabdi kepada pokok, misalnya sebuah pohon, Tao adalah akarnya, sedangkan ranting-ranting dan daun-daunnya adalah agama.
Semua makhluk, benda dan segala hal, tiada satupun meninggalkan Yang Esa, bila mening-galkan yang Esa akan binasa. Esa adalah Tao, dan ini merupakan kebenaran kekal abadi yang takkan pernah berubah. Kong Hu Cu mengatakan: “Saya selalu menjabarkan Yang Esa, sedangkan Agama adalah satu upaya membina budi pekerti dan berbuat amal, membina hati nurani, sebagai satu upaya pengajaran agar kelak mendapat dasar kehidupan di akhirat”.

Oleh karena itu dikatakan : Tao adalah menjalankan kehidupan beragama, agama termasuk upaya pengajaran di dalam agama masing-masing termasuk juga di dalam pengajaran umum, supaya manusia di dunia ini membina hati nuraninya, dan jangan melakukan perbuatan jahat, melakukan perbuatan-perbuatan baik, dengan menolong hati manusia agar tidak menjadi jahat sehingga menjadikan orang yang baik, agar pada kehidupan setelah kematian mendapatkan pahala kebaikan.

Apa yang diajarkan oleh Agama adalah pengajaran berkeadilan untuk seluruh manusia dan dengan tidak ada perbedaan / siapapun boleh mengetahuinya, maka akan sangat mudah bagi penganutnya. Seperti yang dikatakan Nabi Lao Tze: “Ajaran dan ilmu yang sama rata, apa yang tercatat di kitab-kitab suci agama sangat gamblang dan mudah dibaca untuk diketahui oleh setiap orang, ini merupakan ajaran yang sama rata, tapi di dalam Kitab Kitab Suci itu banyak juga tersembunyi rahasia sejati yang ajaib dan misterius, sepintas lalu maksudnya demikian, tetapi dalam pengertiannya yang dimaksud lain, banyak sekali keajaiban dan kemisteriusannya. Namun bila mendapat petunjuk dari seorang Guru Penerang, bagaimanapun cerdasnya tidak akan mudah mengerti rahasia makna yang terkandung di dalamnya”.

Nabi Lao Tze pun pernah berkata : “Tulisan Nabi yang dapat kita baca dan mengerti adalah ajaran dan apa yang dikatakan Nabi tentang jiwa sejati dan Ke-Tuhanan hanya dapat dibaca (didengar) tapi tidak dapat dimengerti bahwa itu Tao”. Di sinilah letak perbedaan antara Tao dan Agama. Agama sering diturunkan dan disebarluaskan, tapi Tao takkan diturunkan bilamana waktunya belum sampai, karena Tao mempunyai waktu yang sangat tersembunyi.

Bagaimanapun kita perkasa, jenius dan berpengetahuan luas serta mengerti semua ilmu-ilmu klasik dan modern, juga takkan berhasil mendapatkan Tao yang sejati ini. Karena Tao takkan diturunkan bilamana waktunya belum sampai, dan tidak akan diturunkan pada sembarang orang, bila akan turun malapetaka maka barulah Tao diturunkan.
Agama memang sudah ada, dan apabila Tao diturunkan agamapun akan tetap ada. Tao tidak jauh berbeda dengan Agama dan begitupun sebaliknya, Agama tidak jauh berbeda dari Tao. Kalau Agama jauh dari Tao, maka agama itu akan merupakan suatu agama sesat dan takkan mengajarkan penganutnya menjadi orang baik

Agama menurunkan kaidah-kaidah kehidupan di dunia bagi setiap manusia, memberikan contoh-contoh berperi kemanusiaan, cara-cara membina hati manusia, sehingga menjadikan sokoguru bagi negara dan didalam rumah tangganya, dijadikan sebagai alat untuk membina budi pekerti pada kehidupan di dunia ini. Agama mengajarkan manusia merubah yang buruk menjadi yang baik menuju kehidupan yang makmur dan sentosa di masyarakat, sebagai persiapan untuk mendapatkan jalan berke-Tuhan-an.

Oleh karena itu agama sangat dibutuhkan dan tidak boleh tidak ada. Penganut agama apapun, bila sudah paham bahwa Tao adalah sumber pokok dari agama. Dari beragama sampai mendapatkan Tao, dan ini harus kita kembangkan kecerdasan kita, maju selangkah dengan bertindak membina diri agar jiwa sejati kita menjadi jernih. Mengerti akan ajaran yang maha luhur, bahwa kita datang darimana dan kelak pada saat nanti meninggal seharusnya pulang kemana, dengan demikian kitapun akan mengerti maksud dari pembinaan hati nurani pada kehidupan sehari-hari.

Tao, Thian di ibaratkan bagai samudera yang luas dan dalam. Karena samudera tempat menampung semua sungai, baik kecil maupun besar, baik airnya bersih maupun kotor, dan yang lebih ajaibnya dapat menjernihkan semua jenis air serta membuat rasanya menjadi satu. Kini tiba saatnya kita berada di ujung zaman, dari ketiga zaman, Tao Thian diturunkan secara luas di dunia ini, dengan tidak membedakan agama dan ras (kebangsaan), tidak membedakan kaya atau miskin, semua berkesempatan mendapatkan Tao dan mendapatkan ajaran yang sejati dari semua ajaran untuk kembali menuju yang Esa, sehingga akan mendapatkan kedamaian hidup (kehidupan yang kekal di surga).

Semua mereka yang berhati baik dan per-caya, baik pria maupun wanita, marilah kita tanamkan dan bercita-cita luhur, dengan tidak ragu atau segan bertanya untuk melangkah maju dengan memperdalam ajaran sejati ini.

Tao yang Maha Besar telah turun dan meluas di dunia ini, segeralah dengan cepat mencari guru penerang untuk mendapatkannya, dan bila tidak secara mendalam kita mempelajari yang Esa ini, maka bila ajal itu tiba, jalan pulang akan tiada.


TUJUAN TAO

Tao memiliki silsilah, yaitu ilmu yang diturunkan dari hati ke hati, Tao diturunkan menurut ajaran hati dari para guru penerus generasi sebelumnya yang merupakan inti serta asal usulnya, ada silsilah dan sumbernya, bukan ajaran sembarangan dan bukan aliran agama sesat. Tao merupakan ilmu hati yang langsung diturunkan, agar kita mampu melampaui kelahiran dan mengakhiri kematian.

Menyadarkan manusia, agar setiap orang memiliki hati nurani, agar setiap orang yang dilahirkan ke dunia ini telah dibekali roh oleh Tuhan, dan roh ini disebut juga sifat Tuhan (Hati Tuhan yang penuh kasih), maka barulah kita dapat hidup di dunia dengan mempunyai hati nurani. Oleh karenanya setiap manusia seharusnya memiliki hati nurani, namun karena termakan oleh waktu maka lambat laun terlupakan kemudian menjadi hilang, maka kebanyakan manusia perbuatannya tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan berbuat yang melanggar hukum, tidak bermoral sehingga masyarakat tidak lagi tenteram. Tujuan Tao adalah menunjukkan adanya hati nurani di dalam diri manusia, supaya setiap manusia menemukan hati nuraninya, sehingga dapat melakukan perbuatan sesuai dengan hati nuraninya.

Memulihkan kebaikan hati serta kebajikan untuk mencapai tujuan yang tertinggi, tidak perlu melalui proses berpikir lagi dan langsung dapat membedakan yang salah dan yang benar, yang baik dan yang buruk, itulah yang dinamakan kebaikan hati. Kebaikan hati dan kebajikan, juga diberikan oleh Tuhan kepada kita, akan tetapi hidup dalam dunia peradaban yang penuh dengan materil, dan demi mengejar kenikmatan materil, sering kali kita tidak tahu apa itu artinya kebaikan hati, sehingga tidak dapat melakukan kebajikan, melainkan apa yang kita pikir dan apa yang kita perbuat, semuanya hanya demi kepentingan pribadi kita sendiri. Tujuan Tao Thian adalah supaya semua orang dapat menemukan kembali Kebaikan Hati dan Kebajikan yang memang sejak dulu kita miliki, sehingga terciptanya dunia yang sempurna dan ideal.

Mentaati aturan-aturan dan tata krama kuno, yaitu 4 (empat) kaidah dan 3 (tiga) aturan. 4 Kaidah yaitu : Sopan Santun (Li), Ksatria / fair (i), Bersih dan tidak korupsi (Lien), dan Tahu malu (Tze). Sedangkan 3 aturan adalah, Atasan sopan bawahan setia. Orang Tua memberikan kasih sayang, anak berbakti. Dan Suami istri yang harmonis.

Sementara Chang (artinya kaidah abadi) : Pengasih/penyayang, bijaksana, sopan santun (Li), cerdas (pikiran tenang, tahu mana yang salah dan mana yang benar, memegang janji/dapat dipercaya.

Semua aturan dan kaidah di atas itu adalah pendidikan moral pada zaman dahulu, karena pendidikan moral memiliki aturan dan kaidah-kaidah itu sebagai dasar, maka hati orang lugu, sederhana dan baik akan hidup tenteram sentosa. Tetapi pada zaman sekarang ini teknologi sangat maju pesat, banyak orang hanya memikirkan mencari uang dan berfoya-foya serta telah lama melupakan kaidah-kaidah pendidikan moral dan tata krama. Oleh karena itu pendidikan dari Tao/Tuhan juga merupakan tujuan, agar manusia dapat taat pada tata krama klasik /kuno itu, sehingga hati nurani kembali menjadi baik.

Menggali ajaran-ajaran dari nabi-nabi kelima agama ; Islam, Kristen (Nasrani), Buddha, Khong Hu Cu dan Taoism. Para Nabi dari kelima agama tersebut, pernah mendapatkan kebenaran dari jagat raya ini (Tao Thian), oleh karenanya beliau-beliau menjadi nabi.

Kebenaran yang didapat oleh para Nabi itu secara diam-diam disalurkan di dalam Kitab Sucinya masing-masing. Oleh karenanya, bila kita belum mendapatkan Tao Thian, lalu ingin menjabarkan secara jelas mengenai makna yang terkandung di dalam Kitab Suci tersebut adalah tidak mungkin. Kini Tao Thian di turunkan ke dunia, maka kita dapat menjabarkan secara jelas makna sebenarnya yang terkandung di dalam ajaran kelima Nabi itu dan kita jadikan sebagai pegangan di dalam pembinaan Tao.

Berusaha mewujudkan dunia yang sama rata dan sama rasa. Sampai pada saat ini, manusia hidup di dunia belum pernah dapat menikmati kehidupan yang benar-benar aman sentosa. Hal ini disebabkan, karena hubungan antar negara, antar manusia, tidak berpijak pada keadilan, yang kuat memakan yang lemah, negara besar mendikte negara kecil, sehingga peperangan berkobar di mana-mana, dan akhirnya malapetaka merajalela.

Tujuan Tao Thian adalah agar setiap manusia dapat pulih kembali hati nuraninya, sehingga hubungan antar negara dapat berpijak diatas kaidah keadilan dan diharapkan pada suatu saat nanti, dunia akan betul-betul menjadi aman sentosa serta dunia yang sama rata sama rasa. Tao Thian tidak memiliki latar belakang apapun juga dan tidak mempunyai maksud lain, tidak mengembangkan pikiran yang buruk, tidak bertolak belakang dengan peraturan-peraturan dan hukum masyarakat serta negara.

Tao Thian mengajarkan setiap orang berterus terang, polos, jujur dalam bekerja, menghormati langit dan bumi, menghormati para roh suci, patriot, setia pada tugas, menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun, berbakti pada orang tua, hormat kepada guru, bergaul dengan teman, dapat dipercaya, hidup rukun dengan tetangga, merubah yang buruk menjadi baik, yang sesat menjadi lurus, membersihkan hati, menjernihkan pikiran, meminjam yang palsu (raga kasar) membina yang asli (roh sejati), memulihkan roh sejati kita menjadi semula, menegakkan diri sendiri untuk menegakkan orang lain, membujuk hati orang menjadi baik, turut berperan dalam usaha menciptakan ketentraman dunia, dan yang terakhir mencapai dunia yang sama rata sama rasa.

APAKAH TAO?

Tao adalah kebenaran dari seluruh jagat raya, oleh karenanya Tao boleh juga dikatakan Kebenaran atau Aturan. Tao tiada bentuk dan tak tampak, tiada suara, tiada bau, tidak dapat dilihat, tak dapat digambarkan. Tapi apabila dijagat raya ini tidak terdapat Tao, maka semua ada di dalam jagat raya tidak akan ada kelanjutan. Tao berada di langit, dibumi, di benda-benda, dan di masalah-masalah serta di segalanya. Di dalam tubuh manusia Tao disebut sebagai Hati Nurani, bila ada seseorang melakukan hal-hal yang berlawanan dengan hati nurani dan kebenaran dari Tuhan, maka akan dikatakan bahwa perbuatannya telah membelakangi kehendak Tuhan atau tidak sesuai dengan Tao.

Tao adalah kebenaran yang takkan pernah berubah, sejak adanya jagat raya ini, sedangkan jagat raya selalu berubah-ubah, manusia dan segala masalahnya juga selalu berubah, hanya Tao-lah yang setelah berjuta tahun tidak pernah dan tidak akan berubah. Ribuan tahun yang lalu, bila seseorang mendapatkan Tao, maka ia menjadi orang suci, seperti ; Lao Tze, Malaikat, dan yang lainnya.

Orang sekarang pun dan ribuan tahun lagi, apabila mendapatkan Tao, maka akan sama juga dapat menjadi seperti yang tersebut di atas. Oleh karena itu, barang siapa yang tahu jalan ini, maka dapat kembali kepada asalnya, menjadi Malaikat, menjadi Buddha, Namun bagi yang tersesat dari jalan ini, maka akan terjerumus ke lingkaran derita

Tumimbal lahir (lingkaran reinkarnasi), atau menjadi makhluk yang berada di alam neraka.

Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa kebenaran (Tao) ini bila terdapat di langit, maka jadilah hukum-hukum angkasa, di bumi jadilah hukum-hukum bumi, di dalam tubuh manusia jadilah apa yang disebut budi pekerti dan kebaikan hati, di dalam masalah akan menjadi aturan, di dalam kebendaan akan menjadi hukum alam, di dalam tulisan dan perjalanan juga terdapat aturan-aturan.

Bila langit kehilangan aturan, maka bintang-bintang akan berguguran, bila bumi kehilangan aturan, maka akan terjadi bencana alam, tanah longsor, banjir, dan lain-lain, bila manusia kehilangan Aturan, menjadi tidak beradab, tulisan tiada Aturan, tidak akan mempunyai pengaruh luas, Tao tiada aturan, juga tidak akan mencapai kesempurnaan.

Maka dari itu, di dalam alam semesta ini, semua hal dan benda, bila terdapat aturan akan menjadi aman sentosa, dan bila sebaliknya, maka akan terjadi angkara murka dan celaka. (Li) aturan harus mendapatkan (I) yang Esa, dan bila kehilangan (I) Esa, maka akan menjadi (mai) terpendam. Pepatah mengatakan : “Berpegang pada Aturan, maka akan dapat berkelana di seluruh dunia, dan bila tidak maka setindakpun/selangkahpun akan sulit”.

Tao juga berarti jalan, jalan ini merupakan jalan satu-satunya menuju surga. Secara singkat dapat dikatakan, bila kita ingin kembali kesurga (Nirwana) yang penuh kebahagiaan abadi, kecuali dengan mendapatkan Jalan Ke-Tuhan-an (Tao) ini, selain itu tida jalan lain.

Tao dalam huruf Tionghoa, terdiri dari 2 (dua) titik, yang artinya Yin dan Yang / Plus dan Minus. Plus dan Minus juga berarti Tao, karena di dalam Plus terdapat Minus dan didalam Minus terdapat Plus, yang berarti bila hanya terdapat Minus, maka tak akan ada perkembangan dan bila hanya ada Plus, maka tak akan ada pertumbuhan.

Bila dijelaskan secara modern, berarti di dalam hati saya terkandung dirimu dan di dalam hatimu terkandung diriku, itulah makna pokoknya. Namun di dalam prakteknya, yang seharusnya Minus ya Minus, yang seharusnya Plus ya Plus. Misalnya kita mengemudikan mobil, bila memang waktunya harus perlahan, kemudikanlah dengan perlahan, dan bila waktunya harus cepat, maka kemudikanlah dengan cepat, tetapi bila sebaliknya, maka akan terjadi kekacauan dan akan banyak menimbulkan masalah, hal itu bukanlah cara mengemudi yang aman.

Di bawah antara titik itu terdapat garis, yang artinya Esa dan berarti target yang paling akhir yang harus dikejar oleh berbagai agama dan berbagai aliran filsafat. Taoisme mempunyai pendapat dengan mempertahankan yang Esa, Konfuciusme mengajarkan konsisten dengan keesaan, Agama Buddha mengatakan kembali kepada yang Esa. Esa juga berarti keseluruhan, termasuk yang asli dan yang palsu, dari sini dapat di bayangkan, bahwa Esa sangat penting, bahkan ada orang yang mengerahkan seluruh kehidupannya untuk mencari Esa ini.

Di dalam huruf Tionghoa (Jen) Manusia setelah mendapatkan yang Esa akan menjadi besar, lalu yang Esa ini kemudian di kembang luaskan sesuai dengan keinginan Tuhan, maka menjadi (Thian) dan mencapai suatu taraf, terpadunya antara Tuhan dengan manusia. Para Nabi pernah bersabda : “Langit bila mendapatkan yang Esa akan menjadi bening (cerah), bumi bila mendapatkan yang Esa akan menjadi tentram, manusia bila mendapatkan yang Esa akan menjadi suci”.

Kemudian kita telaah lagi, bahwa di bawah garis tersebut terdapat huruf (ce), yang artinya diri sendiri,dan berarti Tao berada di dalam diri kita sendiri, sedangkan di luar diri kita tidak terdapat Tao, seperti apa yang tertera di dalam Kitab Suci Tao Te Cing : “Bila kita meninggalkan Tao, maka sepanjang hidup takkan pernah melihat adanya Tao, Agama menyatakan bahwa setiap orang sebenarnya adalah anak Tuhan, Tao tidak menjauhkan manusia, namun manusia sendirilah yang menjauhkan Tao”.

Semua pernyataan-pernyataan tersebut, mengingatkan kita agar mencari yang Esa itu ke dalam diri kita masing-masing, dan jangan mencari diluar (ce) tiga huruf ini, bila dihimpun menjadi satu, jadilah huruf (sou), artinya yang pertama dan yang paling mulia. Berkelana di dunia yang fana ini, hanya untuk membina diri, di dalam Tao-lah yang paling tidak pernah ada salahnya. Sejak dahulu kala, yang membuat kita selalu terkenang di dalam sanubari kita adalah orang-orang suci yang telah mencapai kesempurnaan dan kembali ke asalnya, dengan meninggalkan nama harum di dunia ini, bukanlah pembesar-pembesar dan saudagar-saudagar kaya raya.

Dr. Sun Yat Sen, Bapak Republik Tiongkok pernah mengatakan : “Lakukanlah hal-hal yang besar, dan jangan hanya jadi pembesar”. Di dalam uraian tersebut, terkandunglah makna yang sebenarnya.

Yang terakhir, coba kita simak lagi, bahwa di bawahnya juga terdapat huruf (ceh), yang berarti harus dilaksanakan, Tao bukanlah buah bibir, tetapi harus disimpan di dalam hati. Di dalam hati, Tao adalah kesadaran yang timbul dari sanubari yang telah mempelajari ke-Tuhan-an, misalnya kita sehabis minum, maka akan terasa panasnya atau dinginnya minuman tersebut. Bila Tao hanya dibaca di bibir saja tapi tidak dilaksanakan, maka berarti lain dihati, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat dan itu tidak ada gunanya. Namun kalau dibaca lalu dilaksanakan sepanjang hidup, maka akan berguna bagi diri sendiri, orang banyak (masyarakat). Pepatah mengatakan “Bila tiada budi yang tinggi, maka Tao tidak akan sempurna”.

Untuk melaksanakan Tao, kita mengenal Budi yang bermakna (mengandung) 5 sila (U Chang), yaitu : Kasih sayang, Ksatria, Sopan, Tahu apa yang baik dan buruk, dan Memegang Janji.

Hanya manusialah makhluk yang mengetahui lima dari Budi ini, dan kitapun mengenal Budi yang tercakup dalam 8 (delapan) Kebajikan (Pa Te) yaitu :
1.
Berbakti pada Orang Tua.
2. Sayang pada sesame saudara.
3. Setia pada atasan dan Negara.
4. Memegang Janji.
5. Sopan.
6. Ksatria.
7. Kebersihan Hidup. dan
8. Tahu Malu. 

(Arw)

Kitab-kitab Suci Agama Tao


Agama-agama di dunia dapat dipahami melalui kitab-kitab yang oleh penganutnya dianggap suci atau sakral. Sebagaimana agama lain di dunia, Agama Tao juga memiliki kitab-kitab yang dipandang suci dan dijadikan oleh penganutnya sebagai acuan dalam berbuat dan bertingkahlaku.

Kitab-kitab atau buku-buku yang berhu-bungan dengan Agama Tao mencakup koleksi dari karya-karya yang sangat luar biasa yang jumlahnya tidak terbilang banyaknya. Buku-buku tersebut meliputi karya-karya yang berhubungan wahyu atau kitab-kitab yang dianggap wahyu oleh para pengikut Agama Tao, kitab-kitab silsilah mengenai keturunan raja-raja dan orang-orang penting, dan kitab tentang simbol-simbol yang terdapat dalam diagram-diagram suci.

Hingga saat ini, buku-buku yang berkenaan dengan peraturan agama Tao jumlahnya tidak kurang dari 1445 edisi, dan terdiri dari 1120 volume. Buku-buku tersebut dapat dilihat atau tersebar di luar klenteng dan biara-biara Tao. Kitab-kitab dan buku-buku yang berhubungan dengan Agama Tao semakin banyak dikenal masyarakat setelah dicetak kembali pada tahun 1926.

Sekarang ini, usaha yang dilakukan oleh para penganut Tao bukan saja memperbanyak kitab-kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan Agama Tao tapi juga dilakukan penelitian secara sungguh-sungguh, mendalam dan ilmiah mengenai Agama Tao. Hasil dari penelitian tersebut, bukan saja bermanfaat bagi para penganut Agama Tao yang ada di seluruh dunia, tapi juga bagi para ilmuan yang ingin mendalami Agama Tao.

Di samping buku-buku yang berhubungan dengan Agama Tao, ada juga hal-hal penting yang tidak berbentuk kitab-kitab atau buku yang terkait dengan agama dan peraturan-peraturan Agama Tao, ini termasuk dokumen-dukumen penting yang berhubungan dengan agama. Dokumen-dokumen keagamaan yang telah dikumpulkan, seperti penemuan-penemuan arkeologi sebagaimana yang terdapat di goa-goa, salah satunya ditemukan di goa Dunhuang, yang dijual oleh penguasa pada abad ke 11, kemudian dibuka kembali pada tahun 1990.

Selain dokumen-dokumen, karya-karya lain mengenai Agama Tao para ahli juga menjumpai tulisan-tulisan yang berkaitan tentang agama yang terpahat di batu-batu dan tembaga-tembaga kuno. Batu-batu dan tembaga-tembaga yang menyimpan dokumen-dokumen penting tersebut dapat dijum-pai di gua-gua, gunung-gunung, dan tempat-tempat ibadah orang China.

Informasi-informasi mengenai Agama Tao tidak hanya dijumpai dalam tulisan-tulisan yang berbentuk buku-buku, dokumen-dokumen dan pahatan-pahatan pada batu dan tembaga, tapi juga dapat berupa bahasa lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh para tokoh-tokoh agama Tao, yang berfungsi sebagai pedoman moral dan spiritual bagi para pengikut Tao.

Kitab-kitab yang paling pokok dari agama Tao adalah Tao Te Cing, diajarkan pada para pengikut Lao Tze, yang ditulis pada abad ke 6 sM oleh Lao Tze yang merupakan penjaga arsip diperpustakaan negara atau juru ahli arsip kerajaan. Sebagai penjaga arsip, tentu saja Lao Tze sangat menguasai arsip-arsip tua yang ada diperpustakaan di tempat ia bekerja.

Tao Te Cing yang hanya terdiri dari 5000 kata ditulis secara gaib dan menggunakan bahasa kiasan. Sangat sulit bagi awam untuk memahami isi kitab tersebut, karena sangat puitis dan disampaikan secara lugas. Isi terpenting dari kitab Tao Te Cing tersebut adalah “tanpa berbuat” (wu wei), dapat juga diartikan sebagai non action, yang bertentangan dengan alam yang menghendaki manusia untuk berbuat, bekerja dan sebagainya; yang digunakan sebagai metode-metode dan etika untuk memelihara kehidupan seseorang; dan memberikan contoh “jalan” untuk semua orang termasuk penguasa dari orang yang bijaksana, yang juga dikenal dengan Lao Tze atau tokoh utama yang sangat diagungkan dalam Agama Tao.

Kitab Tao Te Cing tersebut merupakan pemikiran dari Lao Tze yang dijadikan buku pedoman moral dan etika bagi banyak orang yang ditulis dari abad ke 4 sM. Sebagian orang atau para ahli menganggap bahwa ada kemungkinan Lao Tze merupakan tokoh mitologi yang tidak pernah ada di di dunia ini, karena kisah-kisah seputar, dia sangat unik yang tidak pernah dijumpai oleh kebanyakan orang di dunia ini. Kemungkinan-kemungkinan seperti itu juga sulit untuk dibuktikan, karena kesulitan untuk menemukan data untuk membuktikan hal tersebut.

Para ahli mengatakan bahwa tidak ada kitab lain kecuali Tao Te Cing yang banyak dibaca dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan tersebar di seluruh dunia. Para pembacanya, bukan saja dari kalangan pengikut agama Tao, tapi juga orang-orang yang ada di luar agama Tao. Mereka tertarik karena ajaran-ajarannya bersifat umum dan lebih bersifat mistik. Di samping itu, ketertarikan orang untuk membaca kitab Tao Te Cing tersebut karena maknanya yang mendalam yang dapat diambil yang dapat diambil dari kata-katanya yang penuh arti. Kitab ini mengungkapkan esensi filsafat awal ajaran Tao.

Kitab ini juga disusun menjadi bab-bab pendek yang puitis, kata-katanya yang ditulis dalam aksara China kuno memberikan peluang kepada banyak orang untuk menafsirkannya, oleh karena itu tidak heran jika banyak kita jumpai penafsiran-penafsiran yang beragam mengenai ayat-ayat yang ada dalam kitab Tao Te Cing. Tidak hanya itu, setiap penerjemah kitab Tao Te Cing, tidak hanya dipandang sebagai penerjemah tapi juga sebagai seorang penafsir, yang berbeda antara satu penerjemah dengan penerjemah lainnya. Di sinilah letak menariknya kitab tersebut, sehingga banyak orang berkeinginan untuk mempelajari dan menggali ajarannya secara mendalam.

Tao Te Cing dapat diartikan sebagai kitab klasik atau kuno tentang jalan dan keluhurannya, dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang Tao. Yang diyakini ada di mana-mana dan asal mula dari segala sesuatu yang ada di alam ini. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Tao tidak dapat dibayangkan dan tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Sedangkan bagian kedua dari kitab tersebut adalah membicarakan tentang Te, yaitu daya atau kekuatan yang diperoleh dengan mengikuti Tao. Secara keseluruhan kitab Tao Te Cing ini terdiri dari 82 bab.

Tao Te Cing memperlihatkan jalan Taois dan menunjukkan bahwa dengan mengikutinya akan membuat kita mencapai kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun setelah kematian. Lao Tze menggungkapkan Tao melalui lirik yang indah dan puitis, sehingga membangkitkan semangat para pembacanya. Lao Tze ingin menjelaskan Tao itu kepada para pembaca kitab Tao Te Cing dengan sejelas-jelasnya, sehingga mulai dari masyarakat awam sampai dengan masyarakat yang terdidik tidak mengalami kesulitan memahami Tao.

Bagi Lao Tze, Tao itu tidak hanya untuk dikenal atau diketahui, tapi yang lebih penting adalah ada atau bersama dalam diri manusia. Dengan demikian, dia dapat dapat dijadikan semacam pembimbing jalan hidup manusia. Oleh sebab itu dia dinamai Tao atau Jalan, yang dapat dijadikan jalan bagi orang yang mencari kebenaran dan keselamatan dalam hidup ini. Bagi Lao Tze, Tao itu tidak perlu disembunyikan atau disamarkan, tapi juga harus dijelaskan dan dimengerti oleh semua orang yang ingin mencari kedamaian hidup di dunia dan setelah kematian.

Tao Te Cing mengungkapkan konsep-konsep yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya secara sistematis, sehingga memberikan makna dan dasar pemahaman bagi semua orang. Daya-daya atau kekuatan-kekuatan akan saling menciptakan melalui reaksi berantai yang diawali oleh energi yang saling bertentangan. Peristiwa atau kejadian-kejadian yang ada di dunia nyata merupakan akibat dari daya-daya atau kekuatan ini. Ada merupakan aspek dari tidak ada, sedangkan tidak ada merupakan aspek dari ada, dan keduanya saling menciptakan. Secara sederhana dapat kita katakan bahwa “orang yang hidup” pada awalnya mereka “tiada”, sedangkan “orang yang mati” pada awalnya mereka “ada atau hidup” sebelumnya kemudian mereka mati.

Sebagaimana disebutkan oleh Simpkins, bahwa Tao tidak mengenal akhir, namun kehampaan, yang merupakan jantung dari segala sesuatu yang ada di dunia ini, atau jantung kehidupan bagi semua mahluk hidup. Berdasarkan ajaran Tao Te Cing bahwa kehidupan yang abadi ditemukan dalam kehampaan. Dari kehampaan bersemi kegunaan. Ruang kosong di dalam gelaslah yang membuat gelas itu menjadi bermanfaat untuk orang banyak, karena tanpa ada ruang kosong di dalamnya, maka gelas tersebut tidak akan dapat diisi dengan air, dan akhirnya tidak akan bermakna bagi semua orang.

Tao Te Cing, memiliki judul asli Lao Tzu. Nama Tao Te Cing diberikan oleh pelajar Tao bernama Wang Pi (226-249) yang berpendapat bahwa kitab tersebut membahas mengenai watak Tao dan kebijaksanaan (te). Akan tetapi nama ini baru resmi dipakai sejak Kaisar Hsuan Tsung berkuasa (739-782) dari dinasti T’ang.

Tentu saja kita ingin mengetahui siapa sebenarnya yang menulis Tao Te Cing, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang hal ini. Ada sebagian ahli berpendapat bahwa kitab ini ditulis oleh beberapa orang, salah satu di antaranya tentu saja seorang tokoh sejarah China yang bernama Li Erh yang sekarang dikenal banyak orang dengan Lao tzu atau Lao zi (Lao Tze). Bagian lain dari kitab ini ditulis oleh sejumlah murid Lao Tze atau para pemikir yang sangat menyenangi ajaran Lao Tze.

Para ahli yang lain juga berpendapat bahwa Lao Tze adalah karakter fiktif dan kitab tersebut mewakili ajaran sekelompok pemikir yang memiliki ikatan hubungan longgar tapi memiliki gagasan serupa. Ketika pemikiran tersebut digabungkan dalam satu kitab, kitab ini dinamai Lao Tze, karena mengandung ajaran “orang tua yang bijaksana”. Lao dapat diartikan “tua” dan Tzu berarti “orang yang bijak”. Banyak orang juga berpendapat bahwa kitab ini merupakan hasil kerja dari satu orang dan bukan ditulis oleh satu orang.

Banyak orang menyetujui bahwa kitab Tao Te Cing ditulis dalam satu periode, tapi orang berbeda pendapat ketika menjelaskan kapan kitab tersebut ditulis atau waktu yang pasti kitab tersebut ditulis. Sebagian orang berpendapat bahwa kitab tersebut dibuat pada periode Musim Semi dan Musim Gugur (770-476 sM) dari dinasti Chow Timur (770-221 sM), sehingga Lao Tze yang dianggap orang tua yang hidup di abad 5 sebelum masehi (551-476 sM).

Dalam beberapa buku tentang filsafat China dikatakan bahwa Confucius (Konghucu) pernah bertemu denga Lao Tze dan meminta nasehat kepadanya. Beberapa para ahli yang lain membantahnya, karena gaya kitab ini berbeda dengan gaya kitab klasik Confucius, seperti Su Si atau Analekta (kumpulan karya Konfucius). Dan tidak mungkin kitab tersebut ditulis di zaman hidupnya Confusius.

Di samping Tao Te Cing, kita juga mengenal kitab lain dalam Agama Tao, yaitu Chuang-Tzu atau Zhuangzi, merupakan kumpulan 33 (tiga puluh tiga) Bab esai yang terbagi menjadi tiga bagian: Bab Dalam (nei-p’ien). Bab luar (wai-p’ien), dan bab lain-lain (tsa-p’ien), sebagaimana banyak naskah kuno yang lain. Chuang-Tzu yang kita miliki sekarang ini kurang lengkap. Kitab Chuang-Tzu yang ada sekarang ini ada kemungkinan disatukan pada awal abad ke-4. Pada masa dinasti T’ang, status Chuang-Tzu terangkat ketika kitab ini menjadi satu dari tiga kitab klasik Agama Tao, bersama dengan Tao Te Cing dan Lieh-tzu.

Tulisan dalam Chuang-tzu meliputi pemikiran lebih dari empat ratus tahun. Yakni dari abad ke-4 sM, pada periode pertempuran antar negeri (475-221 sM) dinasti Chow Timur sampai dengan abad ke-3 pada masa dinasti Han Timur. Pada saat ini diyakini bahwa Bab Dalam, yang ditulis antara tahun 250 dan 300 sM, adalah bab yang paling tua dari kitab ini. Bab-bab dalam kitab ini, kelihatannya ditulis oleh satu orang, dan yang menulisnya kemungkinan besar adalah Chuang-tzu sendiri. Beberapa bagian dari Bab Luar dan Bab lain-lain dari kitab ini merupakan esai yang ditulis oleh orang-orang yang berbeda antara tahun 221 dan 25 sM, atau pada masa dinasti Ch’in dan Han. Sedangkan pada bagian lain dari kitab ini kemungkinan besar ditulis pada masa dinasti Wei dan Chin (antara tahun 220-420 M). Beberapa pengarang tersebut adalah murid Chuang-tzu, sedangkan yang lainnya adalah filsuf-filsuf Tao yang hidup beberapa ratus tahun setelah masa Chuang-tzu, yang mengembangkan pemikiran-pemikiran Chuang-tzu untuk generasi-generasi berikutnya.

Chuang-tzu atau Zhuangzi, dianggap oleh para ahli sebagai karya kedua terbesar dari filsafat Taoisme. Kitab ini diberi nama oleh pengarangnya pada abad ke 4 sM, Zhuangzi (guru Zhuang), dan nama lain untuk Zhuangzi adalah Zhuang Zho. Kitab ini lebih banyak diperuntukkan untuk rakyat jelata sebagai pedoman hidup mereka, ketimbang pada para penguasa. Zhuangzi yang juga dikenal sebagai nama penulisnya, dikenal sebagai tokoh yang senang mewujudkan Tao yang tidak terbatas dalam dirinya, guna untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusian dalam hidup ini. Dia melihat realitas alam dan menggambarkan alam sebagai sesuatu yang tidak terbatas atau kekal yang ada di alam ini dengan cara yang berbeda-beda. Dia juga melihat bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup ini dan juga dalam kematian sebagai perpaduan dengan Tao atau tidak terlepas dari unsur Tao.

Kitab Zhuangzi juga bicara tentang keabadian atau kekekalan hidup, kesempurnaan individu atau orang-orang yang hidup di atas gunung-gunung, mencari makanan di sekelilingnya, menghirup embun pagi, udara segar, dan pengalaman di atas gunung yang sangat menyenangkan adalah suatu tindakkan yang dapat menghadirkan ke dalam diri mereka. Semua ide-ide yang terkandung dalam kitab ini menjadi sangat penting bagi tradisi keagamaan Taoisme di seluruh dunia. Pemikiran Zhuangzi yang tertuang di dalam kitabnya ditulis dalam 7 bab, sedangkan pemikiran yang lain ditulis sebayak 26 bab yang barangkali merupakan karya bagi para murid-muridnya yang sangat cerdas dan sangat bijaksana. Dengan adanya kitab Zhuangzi ini maka kepustakaan tentang agama Tao semakin bertambah dan pengetahuan orang mengenai Agama Tao juga semakin bertambah.

Selain Tao Te Cing, Zhuangzi, ada lagi dua karya kefilsafatan Taoisme yang besar lainnya yang ditulis pada abad ke 2 SM. Kedua karya kefilsafatan Taoisme tersebut adalah Huainanzi (guru Huainan) dan Leizi (kira-kira ditulis pada abad ke 3 sM sampai dengan abad ke 4 M). Sama dengan kitab Zhuangzi, kedua kitab ini diberi nama setelah pengarangnya meninggal dunia. Kitab Huananzi menjelaskan bagaimana waktu, alam, dan tindakan manusia satu dengan lainnya dapat saling berhubungan, ketergantungan, sehingga sulit untuk dipisahkan di antara mereka. Berbeda dengan kitab Huainanzi, kitab Liezi menjelaskan mengenai Tao dan perubahan-perubahannya sepanjang sejarah, serta menjelaskan tentang penciptaan alam ini.

Kitab Liezi atau Lieh-tzu, juga dianggap sebagai kumpulan cerita dan hiburan-hiburan dalam filsafat. Kitab ini juga berisikan bahan-bahan yang ditulis selama 600 tahun (berkisar antara 300 sM sampai dengan 300 M). Dalam karya yang aslinya, kitab ini terdiri dari 20 bagian. Dari ke-20 bagian ini kemudian dipadatkan menjadi 8 bagian seperti yang dapat dijumpai saat ini. Lebih kurang 100 tahun, kitab ini tidak mendapat perhatian banyak oleh para pengikut Agama Tao, sebagaimana layaknya kita Tao Te Cing dan Chuang-tzu. Ajara-ajaran yang tertuang dalam kitab ini dianggap hanya untuk memahami Agama Tao pada masa negeri-negeri yang berperang dan kebudayaan-kebudayaan yang berkembang pada awal kekuasaan dinasti Han. Kitab ini sampai ke generasi kita sekarang ini karena jasa besar seorang Cendikiawan dari dinasti Chin Timur, yang hidup pada tahun 317 sampai dengan 420. Dialah yang berjasa menyunting dan memberi komentar kitab ini sehingga menarik untuk dibaca orang banyak. Jika tidak ada usaha keras dari dia, maka barangkali kita sudah tidak akan menemukan kitab ini dan selamanya tidak akan tahu isinya.

Dalam sejarah perkembangan Agama Tao selama ribuan tahun, lebih dari ribuan buku yang tersebar ke seluruh dunia, yang berasal dari kelompok-kelompok Agama Tao dan praktek-praktek Agama Tao yang muncul di masa pemerintahan rakyat. Salah satu buku yang amat penting adalah Bao Puzi (guru yang berpenampilan sederhana) oleh Ge Hong, yang ditulis pada tahun 230M. Ge Hong adalah anggota keluarga dari kaum ningrat yang berasal dari bagian Selatan China yang memiliki hubungan erat dengan kelompok Shangqing. Karya ini difokuskan untuk menjelaskan tentang waktu-waktu dan tempat-tempat untuk melakukan ibadah atau meditasi. Buku atau karya tersebut juga menunjukkan bahwa ada pengaruh dari ilmu fangshi atau “laki-laki dengan makanan”, dan tradisi shaman yang cukup berkembang di China bagian Selatan.

Kitab Bao Puzi dibagi dalam dua bagian atau bab, yaitu bab pertama adalah bab “bagian dalam” yaitu bab yang dikhususkan untuk kalangan tokoh-tokoh Tao tertentu saja, dan kedua adalah bab “bagian luar”, yaitu bab-bab yang menjelaskan tentang etika Konfusius. Bab-bab bagian sebelah dalam berkaitan dengan metode-metode dan teknik-teknik untuk mencapai keabadian, atau kehidupan yang kekal, termasuk juga penciptaan obat untuk memperoleh keabadian yang berasal dari zat-zat mineral. Sedangkan bab-bab di bagian sebelah luar berkaitan dengan adat-istiadat masyarakat dan tingkah laku manusia di dunia ini, khususnya adat istiadat orang China.

Dalam kitab tersebut juga dijelaskan mengenai moral, kebijaksanaan, dan keabadian hidup. Dalam kitab tersebut juga dijelaskan bahwa salah satu yang harus dilakukan oleh orang-orang yang beriman di dalam praktek-praktek ibadah adalah memohon pertolongan dari dewa-dewa, dan sebaliknya mereka juga harus memberikan sesuatu kepada dewa-dewa. Dalam hal ini ada proses timbal-balik, saling memberi dan membalas pemberian tersebut.

Kitab-kitab atau buku-buku yang disebutkan di atas mencakup peraturan-peraturan Agama Tao yang sangat banyak (tao-tsang), etika dan adat-istiadat. Para ahli mencoba untuk mengumpulkan dan mengelompokkan semua karya-karya para ahli Agama Tao yang terjadi pada abad ke 15 sehingga karya-karya tersebut dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Atas dasar pemikiran tersebut, maka secara berkala karya-karya tersebut dapat dikumpulkan dengan bahan-bahan baru yang ditambah dengan versi baru tentang aturan-aturan Agama Tao.

Dalam perkembangan Agama Tao adakalanya terjadi pelarangan terhadap buku-buku yang ditulis oleh para ahli Agama Tao dan terjadi kekacauan di pusat kota China yang disebabkan oleh pemberontak yang berasal dari luar China dan juga pemberontak-pemberontak yang berasal dari dalam negeri China itu sendiri. Versi sekarang dari buku-buku Tao tersebut telah dimusnakan, dengan beberapa karya yang lain yang sama sekali hilang. Di bawah kekuasaan tentara Mongol dan dinasti Yuan, satu versi dari kitab-kitab tersebut dibuat dalam 7000 bab. Kemudian Kubilai Khan memesan semua buku-buku Tao tersebut termasuk Tao Te Cing untuk dibakar setelah terjadi perselisihan antara pengikut-pengikut Tao dan Buddha.

Pada abad ke 15, kitab peraturan Agama Tao dikelompokkan dalam tiga bagian. Hal ini dilakukan karena untuk mempromosikan kitab-kitab Buddhisme, yang tumbuh dengan cepat dan popular pada saat itu. Tiga bagian dari kitab-kitab ini mewakili tiga kelompok tradisi Tao yang berkembang pada saat itu, yaitu: Shangqiang, Lingbao, dan Sanhuang (tiga raja yang berkuasa). Bagian-bagian lain dari kitab tersebut, tidak ada hubungan dengan karya-karya kelompok-kelom-pok sebelumnya. Tergolong dalam kelompok ini adalah Celestial Master (guru-guru surga), yang kemudian hari semakin berkembang di daratan China. Tiga bagian dari kitab-kitab yang disebutkan di atas dibagi lagi dalam sub-sub bagian yang membahas segala macam persoalan yang berhubungan dengan manusia. Salah satu pokok bahasan tersebut mencakup kemurnian wahyu; yang lain lagi adalah pokok bahasan mengenai penafsiran. Bagian lain dari kitab-kitab Agama Tao tersebut membahas persoalan silsilah keturunan dan sejarah kehidupan tokoh–tokoh Tao yang cukup terkenal pada masa itu. Dalam kitab-kitab Agama Tao tersebut hal-hal yang menyangkut peta-peta, diagram-diagram, jimat-jimat suci juga dikelompokkan dalam bagian tersendiri; bagian lain lagi juga menjelaskan konsep-konsep mengenai etika, dan lagu-lagu rohani; dan juga ditambah dengan karya-karya yang menjelaskan praktek-praktek feng shui yang berkembang dalam kebudayaan orang China, di manapun mereka berada, di masa lampau maupun masa sekarang.

Taoisme menerangkan tentang agama yang mencakup unsur-unsur ketuhanan, penciptaan, kematian dan persoalan-persoalan etika. Tidak hanya itu, persoalan tentang emanasi juga dijelaskan dengan panjang lebar, seperti misalnya bahwa manusia hidup karena ada nafas (yuangi) yang ada pada gerakan pertama Tao. Jadi kelompok keagamaan Tao berawal dengan guru-guru surga (celestial master), yang dipandang sebagai perwujudan Tao di atas permukaan bumi ini. Tao Te Cing dipandang sebagai wahyu dari Lao, yang dikenal sebagai Laozi atau Lao Tse. Dia (Tao Te Cing) juga dianggap kitab suci dan Lao Tze (pencipta dari kitab tersebut) dipandang sebagai malaikat pelindung yang datang dari langit oleh para pengikutnya. Seorang penerima wahyu yang cukup terkenal adalah Yang Xi, yang dimasukki oleh sejumlah roh-roh para tokoh-tokoh Agama Tao yang terjadi antara tahun 364 dan 370 M. Yang Xi membuat kitab suci yang dianggap datang dari langit yang paling tinggi (Shanging), dan kitab-kitab ini menjadi pedoman bagi kelompok Shanging. Kitab suci Tao Te Cing adalah kesusastraan yang paling tinggi, baik dalam segi gaya maupun dalam segi kaligrafi. Karya-karya Yang xi yang sangat bagus, yang tersebar ke seluruh masyarakat, bukan saja bermanfaat bagi masyarakat, tapi juga dapat meningkatkan wibawanya di mata masyarakat.

Kitab-kitab yang lain, seperti kitab klasik tentang perdamaian besar (classic of great peace) (taiping ling) dari kelompok serba kuning (yellow turban) memasukkan ajaran-ajaran Tao ke dalamnya, dan mengharapkan keselamatan dari Lao atau Laozi, atau seorang yang hadir di tengah-tengah masyarakat, dapat menjadi pelayan di masa perdamaian, mendatangkan kemakmuran dan umur panjang.

Banyak buku-buku Tao yang ditulis secara kabur atau dengan bahasa sandi untuk mencegah informasi dari tangan-tangan yang tidak menyetujui diterbitkannya buku-buku tersebut. Para guru-guru Agama Tao yang belum bisa memberikan pengajaran secara lengkap diberi semacam pelatihan oleh para ahli, sampai mereka yakin betul bahwa para guru tersebut dapat melakukan pengajaran dengan baik. Pengajaran dilakukan secara lisan sehingga mudah dipahami oleh para pemula atau bagi orang yang baru masuk Agama Tao atau baru memahami Agama Tao.

Kitab peraturan Agama Tao, bukan saja menjelaskan aturan-aturan keagamaan, tapi juga menggambarkan tentang kehidupan tokoh-tokoh Tao yang sangat berjasa bagi rakyat banyak, gambaran mengenai yang transenden, dan sejarah tokoh-tokoh lokal Tao yang dihormati dan dipuja oleh orang banyak setelah mereka mati. Bukan saja kitab-kitab peraturan agama Tao, tapi kitab-kitab lain juga menjelaskan pengajaran dan penulisan tokoh-tokoh penting dalam kelompok-kelompok Agama Tao, seperti Lu Dongbin dan Wang zhe yang sangat berjaya di masanya.

Salah satu yang sangat luar biasa dan penting dalam kitab peraturan Agama Tao adalah membicarakan masalah tempat-tempat suci, seperti gunung-gunung, tempat-tempat ibadah dan candi-candi yang digunakan orang banyak untuk sembahyang. Dalam Agama Tao, alam yang luas ini dipandang sebagai makrokosmos, sedangkan badan manusia dipandang sebagai mikrokosmos atau bagian dari alam yang sangat besar. Keduanya saling berhubungan dan saling pengaruh mempengaruhi. Jadi, kitab-kitab atau buku-buku tipografi juga menjelaskan mengenai peta langit, bumi, dan gua yang terdapat di bawah tanah. termasuk hal yang penting lainnya, yang tidak hanya untuk garis lintang bumi, perjalanan, melihat alam, tapi juga untuk memetakan alam dari badan kita.
Sebab tubuh manusia itu sendiri adalah bagian dari alam yang cukup besar. (Arw)

Keberadaan Agama Tao Di Indonesia


Keberadaan Agama Tao di Indonesia sudah sejak lama, bersamaan dengan datangnya orang-orang Tionghoa ke Nusantara dalam rangka mencari kehidupan. Dengan demikian, secara tidak langsung, telah membawa adat istiadat yang melekat dalam diri dan keyakinan serta kepercayaan (agama).

Selanjutnya, untuk melaksanakan ritual keagamaan dibangunlah tempat-tempat peribadatan Agama Tao di mana mereka berada. Sampai saat ini dapat kita lihat tempat-tempat peribadatan Agama Tao yang tersebar, mulai dari Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) sampai dengan Papua (Irian), yang saat ini orang mengenalnya dengan sebutan Klenteng. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan, bahwa umat Agama Tao sejak dahulu hingga saat ini tetap eksis keberadaannya di Tanah Air Indonesia tercinta ini.

Sejak adanya perubahan politik di Negara Indonesia pada tahun 1965, dan dikeluarkannya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang “Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat”, sejak saat itulah perkembangan Agama Tao di Indonesia seolah-olah tidak ada, dan umat Agama Tao sepertinya dipaksakan untuk menjadi umat agama lain. Dan sebutan tempat ibadahnya pun telah diubah namanya dengan tidak menyebutnya sebagai Klenteng (Tao Kuan).

Namun, walau keberadaan Agama Tao secara resmi tidak diakui, tetapi dalam kehidupan sehari-hari umat Agama Tao di Indonesia tetap melaksanakan ritual peribadatan sebagaimana ajaran Agama Tao yang diyakininya, meskipun terlihat di luarnya seolah-olah ajaran dari agama lain.

Oleh karena keberadaan umat Agama Tao di Indonesia tetap ada, maka pada tahun 1974 di Medan dibentuk organisasi keagamaan Tao, yang waktu itu diketuai oleh Taosu Kusumo sekaligus merangkap sebagai pengurus dan anggota.

Dalam perkembangan selanjutnya ternyata banyak dukungan, baik dari kalangan umat agama Tao sendiri (yang dalam hal ini seolah-olah mengaku umat agama lain), maupun komunitas dari umat beragama lainnya yang hidup dan berkembang di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Akibat banyaknya dukungan terhadap Agama Tao di Indonesia, maka umat dan simpatisan Tao mendeklarasikan suatu organisasi Kesamaan Keagamaan pada tanggal 27 Februari 1992 di Jakarta, dengan nama Majelis Taoisme Indonesia (MTI).

Sejak perubahan politik pada tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi di segala bidang secara signifikan. Hal ini pula berdampak pada umat Agama Tao dan MTI, ditambah dengan dikeluarkannya Keppres No. 6 tahun 2000 tentang “Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang “Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China”. Selain dari pada itu, diperkuat dengan Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Menarik untuk disikapi, bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia (tertera dalam pertimbangan Keppres No. 6 tahun 2000).

Selain itu, Negara pun menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agama dan kepercayaannya itu (UU No. 39 tahun 1999, ayat 2 Pasal 22). Setiap wagra negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya, untuk berperan serta dalam menjalankan pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakkan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (UU No. 39 tahun 1999, ayat 2 Pasal 24).

Sekalipun diperkuat dalam perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang ada di negara ini, antara lain : UUD 1945 pasal 29 ayat 2, Inpres No. 1 thn 1965, SKB Menag dan Mendagri No. 1 thn 1979, Instruksi Menag No. 3 thn 1981, UU No. 8 thn 1983, UU No. 10 thn 1992, UU No. 39 thn 1999 tentang Hak Asasi manusia, UU No. 23 thn 2006, UU No. 12 thn 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan UU No. 40 thn 2008 tentang Diskriminasi Etnis, serta UU lainnya.

Untuk keberadaan Agama Tao di beberapa negara tetangga pun, Menteri Agama RI telah mengutus jajarannya ke negara asal Agama Tao. Dan mereka secara jelas telah menerima penjelasan, serta melihat langsung tempat peribadatannya.

Namun, hingga saat ini, keberadaan umat Agama Tao belum mendapat respon dari pemerintah. Seolah, pemerintah benar-benar tutup mata terhadap Agama Tao. Terbukti, umat Tao masih tetap menggunakan agama lain dalam kartu identitasnya (KTP).

Sesungguhnya, pihak MTI telah beberapa kali melayangkan surat ke Departemen Agama RI, dan selalu mendapat jawaban sama, yakni pemerintah belum dapat memberi jawaban. Bila dikatakan, pihak pemerintah tidak mengakui keberadaan Agama Tao di Indonesia, merekapun keberatan. Untuk menyatakan “ya” juga keberatan.

Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa di negeri ini telah terjadi diskriminasi terhadap masyarakat dan rakyatnya, terutama di bidang kepercayaan dan agama. Padahal telah sama-sama diketahui, bahwa warga negara dari suku bangsa China, di Indonesia jumlahnya termasuk terbesar ketiga, setelah Jawa dan Sunda.

Perlu diketahui, umat Agama Tao melalui MTI telah banyak melakukan kegiatan-kegiatan sosial, mulai dari pembagian sembako, sunatan massal hingga pemberian santunan kepada masyarakat tidak mampu. Selain itu, MTI pun telah turut serta mensosialisasikan buku Undang Undang Dasar 1945 dengan menerbitkan buku UUD 1945 berbahasa Mandarin.

Wajar dan layak, jika umat Agama Tao menuntut haknya sebagai anak bangsa, untuk diperlakukan dan diberi pelayanan yang sama dalam hal agama dan keyakinan. Padahal, budayanya jelas-jelas sudah dapat diterima di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia tercinta ini.

Mudah-mudahan, pemerintah berkenan melaksanakan sila ke lima dari Pancasila, yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan mengimplementasikan UUD 1945 pasal 29 ayat 9. (Arw)

Selasa, 08 Februari 2011

KOMENTAR AKADEMISI

Mewujudkan Kehidupan Beragama Di Indonesia Yang Berlandaskan Pada Semangat Kebangsaan

Oleh : Prof. Dr. M. Ridwan Lubis
Kapuslitbang Departemen Agama RI

Internalisasi agama di Indonesia dimulai dari wilayah kehidupan masyarakat agraris yang salah satu intinya adalah berusaha "berdamai" dengan alam. Atas dasar itu, maka sekalipun agama-agama mondial telah berkembang ke kawasan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, akan tetapi hal ini tidak serta-merta menghilang secara radikal pola keberagamaan masyarakat agraris dan berbudaya.

Secara juridis formal kedudukan agama dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia telah selesai, yaitu agama sebagai landasan etik, moral dan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan penegasan seperti itu, maka Indonesia tidak akan menjadi Negara Agama dan juga sebaliknya tidak akan bergeser menjadi negara yang bersikap antipati terhadap agama. Munculnya gagasan tersebut tidak murni dari pertimbangan yuridis formal semata, akan tetapi berpangkal dari sistem kebudayaan yang akarnya terhujam jauh di dalam hati sanubari pendiri bangsa ini.

Akan tetapi penegasan tentang posisi hubungan agama dan negara sebagaimana yang dikemukakan di atas belum tentu dapat teraplikasikan dalam kehidupan sosial. Persoalan-persoalan yang masih terus menjadi agenda pembicaraan kita adalah bagaimana memahami makna keberagamaan di tengah persimpangan arus tradisionalitas dan modernitas, bagaimana merumuskan kompetisi yang ideal dari agama-agama dalam memberikan kontribusi kepada negara, bagaimana kelompok penganut agama mayoritas melihat minoritas dan demikian pula sebaliknya kelompok minoritas melihat mayoritas dan lain sebagainya.

Hakikat Keberagamaan
Agama adalah sumber nilai, paling tidak, menjelaskan tiga hal yang sebelumnya tidak dikenal oleh manusia rumusannya secara kongkrit. Pertama, agama menjelaskan adanya kekuatan yang tidak terbatas yang berada di luar struktur alam semesta. Oleh karena Ia adalah merupakan kekuatan tidak terbatas yang berada dengan sendirinya. Ia merupakan sesuatu yang absolut dan Maha Sempurna dan kepada-Nya-lah semua ciptaan akan menggantungkan keberadaannya. Dalam agama, Zat yang absolut Maha Sempurna itu disebut Tuhan.

Kedua, agama menegaskan tentang sesuatu perbuatan yang baik dan buruk. Sekalipun manusia mengklaim bahwa ia juga bisa mengetahui tentang baik dan buruk itu, akan tetapi pengetahuan manusia itu bersifat relatif dan terbatas. Adanya keterbatasan pengetahuan itu disebabkan karena sumber penilaian itu datang dari dalam diri manusia, sehingga tidak memiliki acuan yang universal.

Ketiga, agama menegaskan  adanya keharusan manusia untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Adanya dua keharusan ini, disebabkan karena perjalanan kehidupan manusia tidak berhenti di alam fana ini, melainkan akan menuju kepada kehidupan yang abadi yaitu yang disebut alam baqa (kekal/akhirat). Karena itu, setiaporang hendaklah rela menunda kenikmatan sementara untuk meraih kenikmatan yang abadi (asketisme intelektual, zuhd).

Atas dasar itu, maka keberagamaan (religiositas) selayaknya harus mengalami promosi dari komitmen simbolik kepada substansi, karena komitmen simbolik tidak lebih dari wawasan pengetahuan yang baru mampu menangkap fenomena. Dan apabila terjadi yang demikian, maka komitmen keberagamaan tersebut masih berada pada dunia nalar-logik dan akhirnya hanya akan melahirkan masyarakat yang tidak bisa menyumbang kepada terbentuknya peradaban (meaningless society).

Pengalaman kesejarahan inilah yang telah dilalui oleh bangsa kita selama beberapa tahun yang lalu. Komitmen keberagamaan yang substansif adalah wawasan keberagamaan yang tidak lagi berada sebatas fenomena simbolik di atas, akan tetapi telah meningkat kepada pencapaian substansi agama, yaitu aspek penghayatan esoteris yang dalam terminologi agama disebut dengan sufisme, tasawuf, tarekat, mistisisme, dan lain sebagainya.

Beragama tidak lagi dipandang sekadar sebagai menunjukkan identitas diri untuk membedakan dari saudaranya yang lain, akan tetapi merupakan upaya penyatuan esensi dan eksistensi diri manusia sekaligus. Dalam kaitan inilah, agama selain menampilkan Ketuhanan dalam wujud samudera imanensi ilahiah, di mana manusia menemukan kebahagiaan di dalamnya.

Wujud keberagamaan pada aspek yang kedua ini dapat dilihat sebagai pertautan sekaligus antara dimensi ilahiah dan insaniah. Adanya perbedaan agama yang dianutnya dengan saudaranya yang lain tidak lagi sekadar terwujudnya dalam perbedaan (agree in disagreement), akan tetapi labih jauh lagi, ia menemukan nikmat keimanannya dengan berkaca diri pada saudaranya yang menganut sistem kepercayaan yang berbeda. Wujud keberagamaan seperti inilah yang diharapkan akan melahirkan masyarakat yang penuh arti (meaningfull society). Atau dengan perkataan lain, ia membuthkan adanya orang yang menganut sistem kepercayaan yang lain sebagai tempatnya untuk berkaca dan membangun cita-cita untuk menuju hidup yang paripurna.

Format kehidupan beragama yang demikian tidak akan memberikan ruang gerak terjadinya konflik sosial apalagi yang mempertentangkan agama, karena konflik itu tidak mungkin terjadi disebabkan karena setiap agama diyakini penganutnya sama-sama mengajarkan suatu nilai yang luhur tentang kehidupan seperti kebaikan, kebajikan, toleransi, kerjasama, hidup bersama, dan lain sebagainya.

Selain dari itu, setiap penganut sistem kepercayaan akan berupaya memberikan kontribusinya kepada masyarakat dan bangsanya yang digali dari dimensi kemanusiaan dari kepercayaannya itu. Inilah sumbangan besar dari agama-agama kepada kemanusiaan seperti tauhid, cinta, dharma dan juga Tao, yaitu suatu kekuatan yang memasuki suatu kehidupan yang secara reflektif dan intuitif telah menyatukan dirinya dengan Jalan Alam Semesta yang intinya adalah perjuangan untuk menegakkan kebenaran di seantero bumi.

Format Kehidupan Beragama di Indonesia
Denga menilik dari pengalaman tentang kehidupan beragama di Indonesia, maka terdapat beberapa hal yang memerlukan perenungan kembali. Pertama, internalisasi agama di Indonesia dimulai dari wilayah kehidupan masyarakat agraris yang salah satu intinya adalah berusaha "berdamai" dengan alam. Atas dasar itu, maka sekalipun agama-agama mondial telah berkembang ke kawasan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, akan tetapi hal ini tidak serta-merta menghilang secara radikal pola keberagamaan masyarakat agraris ini. Hal ini berarti tidak terelakkan terjadinya wacana keberagamaan yang bercorak "sinkretis" antara kepercayaan lama dengan yang baru. Lebih dari itu, wawasan keberagamaan lebih dititik-beratkan kepada eskapisme atas ketidak-berdayaan manusia berhadapan dengan kekuatan alam. 

Oleh karenanya, dimensi keberagamaan yang mistis-dogmatis menjadi dominan dalam konstruksi keberagamaan masyarakat. Agama belum diaktifkan untuk menjadi inspirasi terbentuknya berbagai dinamika, kretivitas maupun inovasi sehingga kelihatannya ada kesenjangan antara kehidupan beragama yang ideal dengan realitas kehidupan bangsa yang masih tertinggal dalam berbagai sektor kemajuan.

Kedua, sikap keberagamaan itu melahirkan etos kerja pembangunan kehidupan manusia manuju kepada kemanusiaan yang paripurna. Atas dasar itulah beragama hendaknya juga melahirkan etos sosial. Harus diakui, karena setiap agama membawa nilai-nilai normatif ideal tentang kehidupan dan atas dasar itu telah memberikan penilaian terhadap kehidupan itu sendiri yang di dalamnya telah ditemukan berbagai penyimpangan nilai moralitas dalam kehidupan sosial. 

Maka dalam rangka upaya rekonstruksi sosial ini, setiap agama hendaknya dapat menyumbangkan gagasan yang konstruktif-original untuk mendesain kembali format kehidupan masyarakat. Demikian pula, hendaknya kelompok sosial membuang jauh-jauh sikap pesimis terhadap realitas kehidupan yang akhirnya menistakan nilai-nilai agama dan mencari sumber pijakan hidup yang lain, seperti sekularisme, hedonisme, permissifisme dan lain sebagainya.

Ketiga, beragama adalah hak individu yang paling asasi, oleh karena itu tidak memerlukan pengakuan dari lembaga ataupun negara. Setiap orang telah dijamin undang-undang untuk mengamalkan ajaran agama dan kepercayaannya dengan tidak melakukan penistaan terhadap ajaran agama yang sudah lebih dahulu dianut oleh masyarakat. Dengan demikian, makna kebebasan beragama juga mengandung muatan yang sangat penting, yaitu penghargaan terhadap kepercayaan orang lain. Hal ini disebabkan karena beragama adalah merupakan upaya yang sungguh-sungguh penggalian makna yang paling dalam dari wujud Tuhan Yang Maha Esa serta kehadiran makhluk ciptaan-Nya.

Keempat, agama-agama di Indonesia belum berhasil melahirkan peradaban sebagai akibat dari visi keberagamaan masyarakat masih lebih didominasi wawasan pengayaan kerohanian (spiritual enrichment), akibatnya terdapat jarak yang semakin lebar antara agama dengan ilmu atau antara wahyu dengan akal yang semestinya tidak boleh terjadi, karena hal tersebut akan mengakibatnya terjadinya degradasi kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, hakikat keberagamaan kita hendaknya adalah merupakan sinergi antara rasionalitas dengan spiritualitas, agar kelompok masyarakat tradisional-agraris dapat bekerjasama dengan kelompok masyarakat urban-modernis. Pada masa belakangan ini tampak ada kecenderungan untuk lebih mendekatkan visi ekonomi, politik, pendidikan maupun hukum kepada nilai keberagamaan, akan tetapi hasilnya masih belum optimal mengingat sudah sedemikian lamanya terjadi dikhotomi antara agama dan ilmu pengetahuan itu.

Kelima, wujud keberagamaan itu adalah terletak pada individu bukan pada masyarakat atau pranata sosial. Oleh karena itu, masyarakat hendaknya tidak mengalami keresahan sosial sebagai akibat dari terjadinya perbandingan yang tidak seimbang dalam konfigurasi penganut agama, sehingga melahirkan terminologi mayoritas dan minoritas. Berkenaan dengan itu, dominannya peranan sebuah agama tidak ditentukan oleh jumlah penganut, akan tetapi titik beratnya adalah terletak pada besar kecilnya kontribusi kemanusiaan yang disumbangkan oleh agama tersebut.

Dengan demikian, kompetisi yang terjadi di antara agama-agama adalah bersifat vertikal, yaitu kepada negara bukan horizontal, yaitu antara sesama penganut agama. Dari gagasan tersebut, maka diharapkan terjadi perlombaan setiap agama di Indonesia untuk memberikan kontribusinya kepada proses perjalanan rekonstruksi sosial itu, sehingga agama di Indonesia mendorong penganutnya untuk menghasilkan sebuah peradaban besar di kemudian hari.
Membangun Kerukunan Umat Beragama
Sekalipun gagasan untuk membangun kerukunan antar umat beragama di Indonesia telah cukup lama yang ditandai dengan berbagai kegiatan dialog pembentukkan berbagai paguyuban, akan tetapi dirasakan masih terdapat berbagai hambatan dalam membangun harmoni sosial itu. Paling tidak terdapat perbedaan cara pandang masyarakat terhadap kerukunan (1) masih adanya kesan yang berkembang dalam masyarakat, bahwa adanya "ancaman laten" antara satu agama dengan lainnya yang disebabkan oleh trauma terhadap semangat misi dari setiap agama yang kurang proporsional.

Hal ini tentunya tidak terlepas dari citra antar agama pos kolonial, (2) adanya kesediaan untuk hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama dengannya, akan tetapi tidak tertarik untuk melakukan kerjasama, karena dipandang hal itu akan secara perlahan mengikis akidah yang merupakan nilai-nilai pokok dari keimanan, (3) adanya orang yang terlalu bersemangat untuk melaksanakan kerukunan sehingga ia kehilangan pegangan akan agama yang diyakini memiliki kebenaran absolut ada dirinya, dan (4) orang yang menyadari kemajemukan masyarakat, bersedia hidup berdampingan dan lebih dari itu bersedia untuk melakukan kerjasama yang bersifat membangun program kebajikan untuk kemanusiaan.

Selama ini, opini publik kita telah dibuat lelah untuk mendiskusikan, apakah sesuatu aliran keagamaan dapat disebut sebagai agama tersendiri atau tidak? Persoalannya bagi kita tentunya terlebih lagi bagi penganut agama dan kepercayaan yang bersangkutan, bahwa adanya pengakuan itu tidak menjadi hal yang begitu penting. Ia tidak lebih dari sekadar simbol pengakuan struktur sosial. Persoalan utamanya adalah apakah agama tersebut dapat memberikan sumbangan bagi program kemanusiaan di negeri ini dan pada akhirnya apakah agama dan kepercayaam tersebut dapat jidup bertahan dari gempuran modernisasi.

Hal ini disebabkan karena dalam pandangan kita agama yang dapat terus bertahan adalah yang memiliki tiga karakter, yaitu agama yang menganut prinsip kesetaraan yang sesungguhnya baik dilihat dari sudut keragaman etnis, kelamin, budaya, maupun geografis, prinsip kedua adalah rasionalitas dan kesederhanaan ajaran agama sehingga ia akan dapat dipeluk oleh setiap orang dan manakala agama tersebut mendorong umatnya untuk kemajuan dan pada saat yang sama juga tidak lupa memetik kearifan dari pengalaman masa lalu.

Disampaikan pada Seminar Keberadaan Agama Tao di Indonesia, 24 Agustus 2005, Hotel Mandarin Jakarta.




Implementasi Hak Asasi Manusia Atas Nuansa Agama Tao di Indonesia

Oleh : Dr. Amsal Bakhtiar, MA
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat-Universitas Islam Negeri JakartaRI

"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Sabiin (penyembah bintang) siapa saja diantara mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati" (Al-Baqarah-62)

Salah satu keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah kesadaran atas eksistensinya, sehingga dia mampu merumuskan apa yang terbaik bagi diri dan komunitasnya. Kesadaran inilah yang kemudian menghasilkan beberapa kesepakatan yang tidak saja diakui dalam kelompok kecil, tetapi diakui secara universal.

Hak asasi manusia yang dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah salah satu contohnya, bahwa setiap manusia berhak untuk hidup, hak untuk bekerja, hak untuk mengungkapkan pendapat, dan hak untuk beragama. Kesepakatan ini kemudian dikawal oleh pemerintahan setiap negara dalam bentuk yang lebih detail dan spesifik, seperti undang-undang dan peraturan pemerintah.

Negara Republik Indonesia secara jelas dan tegas mencantumkan kebebasan untuk meyakini agama dan menjalankan agama tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2, yang berbunyi : "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu". Secara yuridis formal, negara sudah memiliki instrumen yang memadai dalam rangka mangatur kehidupan umat beragama.

Hal ini dipertegas lagi dengan amandemen UUD 1945 pasal 28 ayat 4 dan 5 yang berbunyi : "Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, teruatama pemerintah" dan "Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan". Terlihat jelas dari uraian Undang-undang Dasar tersebut, jaminan bahkan perlindungan negara kepada penduduk untuk beragama. Nada yang sama sering juga kita dengan dari para pejabat negara yang menghadiri perayaan hari-hari keagamaan. Dari penjelasan tersebut amat dukungan negara dan undang-undang dalam menegakkan hak asasi manusia.

Persoalannya bukan pada tataran konsep dan wacana, tetapi pada tataran implementasi dan praktisi. Apakah konsep yang demikian ideal sudah dilaksanakan dengan baik dan jujur pada semua tingkat, sehingga tidak muncul persoalan-persoalan diskriminasi dan ketidakadilan. Tentu saja untuk menjawab pertanyaan ini kembali kepada masing-masing pihak yang mengalami kehidupan beragama di Indonesia.

Secara kaca mata, kita bisa mengatakan bahwa pemerintah sudah berusaha untuk mengatur kehidupan beragama dengan baik dan didukung oleh tradisi lokal yang cukup memadai untuk saling menghormati orang lain yang berbeda agama. Namun, pengetahuan dan kehidupan itu tentunya belum maksimal dan ideal, masih ada beberapa ganjalan bagi agama tertentu untuk menjalankan keyakinan masing-masing.

Masalah politik dan ideologi, kadangkala lebih dominan dalam menentukan hak hidup suatu agama, sehingga terlihat setiap kebajikan pemerintah bisa pada kepentingan kekuasaan. Kita sama-sama saksikan bagaimana pemerintah Orde Baru memperlakukan agama tertentu secara tidak adil, karena terlihat dianggap dekat ideologi kemunisme. Padahal, agama tersebut mungkin di negara asalnya sendiri juga merupakan bagian yang terpinggirkan dari sistem kemunisme. Generalisasi seperti ini sering terjadi dalam mengambil kebijakan pemerintah tanpa memperhatikan dampak besar yang akan timbul.

Sebenarnya, kalau diteliti komunitas agama yang murni tanpa ada kaitan dengan politik dan ideologi atau dengan kepentingan lain, ternyata tidak terdapat persoalan yang mendasar dalam bergaul dan hidup berdampingan secara damai. Buktinya, pernah beberapa rekan dari Departemen Hukum dan HAM melakukan penelitian tentang kebijakan pemerintah mengenai perlindungan kepada pemeluk agama minoritas di Indonesia : Studi kasus di Sumatera Barat, Bali, dan Manado.

Dari hasil penelitian dan wawancara ti tiga daerah yang masing-masing memiliki perbandingan mayoritas dan minoritas yang cukup signifikan, ternyata tidak terjadi konflik yang tajam antara pemeluknya. Hanya saja dalam beberapa kasus hak-hak minoritas memang belum terakomodir secara proporsional. Inilah yang menjadi sedikit ganjalan dalam mengimplementasikan hak-hak pemeluk agama minoritas di masyarakat mayoritas. Persoalan yang dihadapi oleh pemeluk agama minoritas pada umumnya hampir sama, seperti kesulitan mendirikan rumah ibadah, mendapatkan tanah kuburan, dan memakai simbol-simbol keagamaan.

Di samping itu, karena konflik antar umat beragama tidak begitu menonjol, pemerintah daerah belum merasa perlu mengeluarkan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan kehidupan umat beragama. Pemerintah daerah beranggapan bahwa kehidupan beragama diatur oleh pemerintah pusat dan Kementerian Agama. Hanya saja untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di kalangan umat beragama, mereka membentuk forum Kerukunan dan Konsultasi Umat Beragama.

Forum ini terdiri dari beberapa tokoh agama dan mendiskusikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat beragama, terutama yang bersinggungan dengan agama lain, seperti pindah agama dan pendirian rumah ibadah. Kerukunan umat dan saling menghormati antar umat beragama di tiga daerah itu tidak lepas dari vocal wisdom yang sudah terbangun sejak lama. Meskipun kehidupan mereka tidak serumit di kota metropolitan, seperti Jakarta, ternyata mereka mampu memberi contoh bagaimana hidup damai dalam satu komunitas yang berbeda.

Sebenarnya perlindungan dan penghargaan terhadap penganut yang berbeda pada setiap suku dan agama di Indonesia sudah cukup memadai. Buktinya tidak ada suku yang menolak kedatangan agama dari luar secara frontal. Mereka mampu beradaptasi dengan agama yang semuanya adalah pendatang karena tidak ada agama asli di Indonesia. Dari awal kedatangan agama-agama tersebut tidak menimbulkan gejolak apa-apa, bahkan memberikan pencerahan dan kontribusi yang positif bagi kemajuan Indonesia. Kita tidak dapat memungkiri, bahwa peran umat beragama dalam merebut kemerdekaan dari penjajah amat besar. Begitu juga dukungan etnis dan lapisan masyarakat yang begitu kuat, sehingga memperlancar proklamasi Indonesia.

Dalam agama Islam secara tegas diungkapkan, bahwa Tuhan dengan sengaja menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu sama lain saling mengenal. Sebab, jika Tuhan ingin menciptakan umat itu satu (termasuk satum iman) tentu akan bisa, tetapi tidak dilakukan-Nya. Dia menegaskan bahwa keberagaman itu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan itu sendiri. Penghargaan Islam terhadap penganut agama lain juga cukup besar, sebagaimana tercantum dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 62, yang artinya : "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabiin (penyembah bintang) siapa saja diantara mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati".

Jelas sekali, bahwa agama Islam menghargai substansi agama bukan hanya sekadar simbol dan ritual. Inti agama adalah kepercayaan kepada yang Maha Gaib, kehidupan kekal, dan berbuat kebajikan. Kalau dasar yang paling fundamental ini tidak ada, maka bangunan suatu agama bagaikan rumah tanpa fondasi. Penekanan pada amal (perbuatan) merupakan bagian penting dari ajaran Islam, karena iman tanpa perbuatan tidak ada artinya, begitu juga perbuatan tanpa iman akan sia-sia. Iman dan perbuatan bagaikan dua sisi dari mata uang yang sama, yang satu sama lain saling melengkapi.

Dari segi agama Tao, persoalan hak beragama dan perdamaian semesta adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran fundamental Tao. Tao amat menekankan keseimbangan hidup sebagaimana tergambar dalam simbol Yin dan Yang (Taiji), Yin adalah simbol negatif, yang mewakili bumi, malam, kegelapan, dingin, batin, dan feminine. Adapun Yang mewakili langit, siang, panas, zahir, dan maskulin dengan transformasi diri Yin dan Yang bergerak secara spontan menghasilkan siklus perubahan.

Ketika siklus ini mencapai puncaknya Lao Tze membentuknya. Tao menghasilkan satu, satu menghasilkan dua, dan dua menghasilkan tiga, serta tiga menghasilkan semua makhluk. Pada prinsipnya Yin dan Yang bukanlah suatu yang berlawanan dan satu sama lain, karena Yin tidak dapat eksis tanpa keberadaan Yang, begitu juga sebaliknya. Kebersamaan Yin dan Yang dalam satu siklus disebut Tai Ji yang merupakan puncak dari kesempurnaan dan keseimbangan, yang juga disebut Tai Ping.

Karena itu, keseimbangan dalam alam adalah bagian yang fundamental dalam ajaran Tao, termasuk bagaimana menyatukan energi yang terdapat dalam dua unsur Yin dan Yang. Ini juga yang mendorong Tao sebagai agama damai dan menganjurkan kerukunan di antara umat bergama, sebagai amanah diungkapkan dalam salah satu ajarannya, yaitu : "Taoist have always long for a society of Supreme Peace. the reason ? The Great Tao is notwidespread among the people, and society is not in accordance with the Tao of Heaven sometimes it even against it. Tao is in accordance with nature; a stable society with harmonious relation between its member must be done in agreement with their natural laws. Although the society of Supreme Peace is by no means an exclusive Toiast idea, Taoism has its own understanding of the concept. The basis of supreme Peace lies in the spread of the Great Tao; Human Relationsship, Ceasing Hostility and Warfare; Equality; The Unity of Heaven and Man. Tao is Universal.

Sama dengan ajaran agama lain, Tao amat menekankan perdamaian dan kesamaan hak (equlity) untuk semua. Perdamaian tidak akan terwujud kalau keadilan tidak tegak di tengah-tengah masyarakat dan pemerintah. Sumber keadilan adalah jika semua manusia memiliki hak sama dan diperlakukan sama, termasuk hak menganut agama. Diskriminasi atas manusia berdasarkan agama, ras, suku dan lain-lain, adalah bagian yang tidak dapat ditolerir, baik oleh ajaran agama maupun oleh undang-undang negara.

Jadi, ketika persoalan implementasi hak-hak asasi dipertanyakan, maka yang utama dilihat adalah persoalan perlakuan dan kebijakan negara terhadap kelompok tertentu yang mungkin dalam beberapa aspek tidak mendapat pelayanan yang layak sebagaimana warga negara yang lain. Negara modern adalah lembaga yang berhak dan memiliki otoritas untuk melindungi semua warga negara secara adil dan proporsional dan pada waktu yang sama negara memiliki otoritas melakukan pemaksaaan dan kekerasan terhadap warganya. Contohnya, warga yang tidak taat membayar pajak dapat dipenjara atau menembak mati warga yang melakukan pembunuhan. Perlakuan negara yang demikian adalah bagian untuk menjaga hak-hak orang lain, sehingga tidak terjadi hakim sendiri.

Implementasi hak-hak asasi di Indonesia mengalami pasang surut, terutama pada masa Orde Baru. Akibat dari prasangka dan kepentingan politik, maka ada kelompok yang dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang diskriminatif. Karena hal itu sudah berjalan begitu panjang dan lama, seakan-akan tidak terasakan hal itu sudah merupakan suatu yang wajar dan bahkan tidak dipersoalkan lagi.

Runtuhnya rezim Orde Baru dan muncul Orde Reformasi ternyata tidak serta merta membawa perubahan yang drastis, karena kebiasaan-kebiasaan lama sudah dihilangkan dalam jangka pendek, terutama di kalangan birokrat yang nota bene tidak banyak berubah. Mentalitas dan budaya seperti inilah yang kemudian perlu dilihat sebagai proses yang memerlukan waktu untuk mengubahnya. Memang tidak mudah mengubah suatu mind set yang sudah begitu mengkristal dalam diri kita, bahkan perubahan ke arah yang lebih baikpun kedangkala ditolak dengan alasan khawatir akan muncul gejolak dan goncangan di tengah-tengah masyarakat.

Tentu saja keadaan itu bukan menjadikan semangat kita kendor dalam memperjuangkan dan menegakkan hak-hak asasi manusia. Keadaan yang demikian perlu dilihat dari sudut optimistik, sehingga kerja-kerja sistematis kita akan dapat menghasilkan yang relatif dapat dibanggakan kalau tidak mencapai kesempurnaan. Semua komponen bangsa perlu diberi kesadaran akan makna pentingnya hidup bersama dan keberagaman. Keberagaman adalah kodrat ilahi, yang perlu dimenej dengan baik, karena ketidakmampuan mengatur keberagaman itu adalah sumber konflik yang akan membahayakan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena itu, tanggungjawab dalam memelihara keseimbangan antara berbagai kepentingan tidak hanya dibebani kepada negara, tetapi juga kepada para tokoh masyarakat dan agama. Para tokoh agama dan masyarakat diharapkan dapat memberikan warna keberagaman yang kondusif, toleran, dan sejuk bagi semua makhluk. Kalau hal itu dapat dilaksanakan, maka akan terwujud agama yang benar-benar baik untuk semua dan pada waktu yang bersamaan orang yang tidak percaya pada agama akan sadar, bahwa agama itu tidak selalu menampakkan wajah garang dan sadis sebagaimana yang sering dituduhkan kepada kaum beragama.

Disampaikan, pada Seminar Keberadaan Agama Tao Di Indonesia, Hotel mandarin - Jakarta, 24 Agustus 2005.

Peranan Agama Tao Indonesia Dalam Kontekas Kehidupan Pancasila dan UUD 1945
Oleh : Drs. H.M. Anda Hakim, SH, MH, MBL

Di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, agama mendapat kedudukan yang amat essensial. Pada Pasal 29 UUD 1945, dijelaskan bahwa Negara berdasarkan atas ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.

Peranan agama dalam pembangunan nasional pada hakikatnya adalah Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya dan pembangunan seluruh Masyarakat Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar dan pedoman pembangunan nasional. Tujuannya adalah untuk mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bebas, merdeka, berdaulat dan bersatu dalam suasana kehidupan bangsa yang aman, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

Arah pembangunan jangka panjang adalah untuk meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia agar makin maju, mandiri dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Rasa cinta tanah air yang melandasi kesadaran kebangsaan, semangat penganvidan dan tekad untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik harus terus dibangkitkan dan dipelihara, sehingga berkembang menjadi sikap mental dan sikap hidup masyarakat yang mampu mendorong percepatan proses pembangunan segala aspek kehidupan bangsa, guna memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa untuk terwujudnya tujuan nasional.


Khusus pada peranan sektor agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kebijakan pembangunan antara lain terdiri dari atas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuha Yang Maha Esa yang merupakan wujud kehidupan beragama memegang peranan penting bagi kehidupan bangsa, pembangunan kualitas keimanan dan ketakwaan dilaksanakan dengan lebih memperdalam pemahaman dan dan peningkatan pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama untuk membentuk akhlak mulia, sehingga mampu menjawab tantangan masa depan. Dengan demikian, diharapkan terbentuk kepribadian bangsa yang setia pada norma dan ketentuan yang berlaku serta memacu etos kerja, produktivitas dan rasa kesetiakawanan sosial.

Agama sebagai ajaran Tuhan yang bersumber pada kitab suci mengandung sistem nilai yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Tuhan dan hubungan anta sesama manusia secara hirizontal. Pemahaman terhadap agama harus terimplementasi di dalam kehidupan, karenanya pemahaman agama bukan hanya dilihat dalam pelaksanaan kewajiban ibadah saja, tetapi juga norma-norma yang diajarkan di dalam agama harus terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Dengan semikian, seharusnya suasana kehidupan bermasyarakat diwarnai oleh prilaku bersahabat, toleransi, penuh keakraban dan keserasian.

Namun dalam kenyataannya nampak suasana kehidupan sosial yang tidak menggambarkan pola sikap dan pola tindak yang tidak relevan dengan kepribadian dan nilai-nilai norma yang mulia. Berbagai bentuk penyimpangan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, pengabdian ketentuan hukum dan tindak kekerasan serta kebrutalan terjadi di lingkungan kehidupan masyarakat, ini semua tentunya tidak sejalan dengan kepribadian bangsa yang agamis.

Disamping itu, perkebangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat pesat serta perubahan yang hampir di semua sektor kehidupan akibat pengaruh lingkungan strategis, internasional, regional maupun nasional berdampak pada munculnya keanekaragaman pemahaman dan penafsiran ajaran agama. Di sati sisi, hal ini berdampak positif bagi perkembangan khasanah keilmuan dan memperluas wawasan, namun di sisi lain dapat berdampak negatif seperti munculnya sektarian, fanatik, ekstrim, dan lain sebagainya.

Rasionalisasi Pemahaman Agama
Manusia sebagai makhluk Tuhan sejak lahir telah diberikan berbagai petunjuk, guna keperluan hidupnya secara baik dan benar. Petunjuk yang diberikan kepada manusia yakni insting, indera, akal dan agama. Insting memiliki kemampuan sederhana dan sangat terbatas. Demikian juga kemampuan indera manusia sangat terbatas, bahkan dalam hal-hal tertentu kemampuan indera manusia kalah saing dengan kemampuan indera hewan. Kemampuan akal memang luar biasa, namun jangkauannya juga terbatas. Tuhan menginginkan yang baik dan yang terbaik untuk manusia, sehingga disamping akal Tuhan memberikan lagi petunjuk agama.

Di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, agama mendapat kedudukan yang amat essensial. Pada Pasal 29 UUD 1945, dijelaskan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.

Ajaran agama pada hakekatnya adalah wahyu Tuhan yang termaktub dalam kitab suci. Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip ajaran dalam bidang akidah, ibadah dan muamalah, serta nalai-nilai moral (akhlak) yang mulia. Keseluruhannya merupakan kebutuhan hidup manusia guna mencapai kebahagiaan dan kehidupan di dunia dan di akherat.

Rasionalitas pemahaman agama perlu ditingkatkan, sehingga menghasilkan kepribadian yang luhur bagi segenap rakyat dan Bangsa Indonesia. Di dalam pokok pikiran keempat yang terkandung dalam Pemnbukaan UUD 1945 adalah negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, UUD harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah selalu penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat.

Pancasila
Pancasila sebagai landasan idiil, lahir melalui proses yang cukup panjang, melewati rentang sejarah perjuangan bangsa yang berakar pada jati diri Bangsa Indonesia. Dengan demikian, Pancasila itu sendiri merupakan :
  1. Dasar Negara Republik Indonesia, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Pandangan hidup Bangsa Indonesia, yang dapat mempersatukan serta memberi petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin dalam masyarakat yang majemuk.
  3. Jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia, karena memberi corak yang khas jatidiri Bangsa Indonesia.
  4. Tujuan yang hendak dicapai oleh Bangsa Indonesia, yakni suatu masyarakat yang adil, makmur yang merata materiil dan spiritual.
  5. Perjanjian luhur seluruh Rakyat Indonesia yang telah disetujui oleh seluruh Rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya, baik menjelang maupun setelah kemerdekaan.
Sedangkan petunjuk-petunjuk nyata dan jelas dari wujud pengamalan Pancasila dirumuskan dalam 45 butir, beberapa butir di antaranya mewarnai kehidupan keagamaan dan kepribadian bangsa, yaitu :
  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3.  Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
  4. Membina kerukunan diantara sesama umat beragama dan kepercayaan tehadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
  6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
  7. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
Memang pengamalan Pancasila yang telah dirumuskan dalam UUD 1945, yang setiap[ butir-butirnya itu harus merupakan satu kesatuan yang  bulat dan utuh dari kelima silanya. Butir-butir yang diungkap di atas hanyalah sekedar memberi gambaran, bahwa kepribadian Bangsa Indonesia adalah kepribadian yang ber-Ketuhanan atau kepribadian yang agamis.

Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionil, mengikat setiap warga Negara Indonesia di manapun berada. Sebagai hukum dasar, maka UUD 1945 merupakan sumber hukum, seperti undang-undang, peraturan, keputusan pemerintah, bahkan seluruh kebijaksanaan pemerintah.

Pada pasal 29 UUD 1945, dijelaskan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Hal ini menunjuk bahwa agama mendapat kedudukan yang amat essensial di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
Dalam sejarah yang panjang telah muncul pandangan tentang manusia dan upaya untuk mencari hakikat manusia terus berkembang dari masa ke masa. Realisme klasik memandang manusia sebagai makhluk hylomorfis yang mempunyai hakikat rangkap, yaitu raga material yang terorganisir dan hidup rasional yang menggerakkannya. Penganut idealisme memandang manusia dari sudut kebudayaannya atau apa yang dihasilkannya.

Menurut pandangan ini, manusia memiliki simbol-simbol dan menciptakan satuan-satuan yang bersifat fungsional. Sementara itu, materialistis historis memandang manusia dari sudut tingkah lakunya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materi, sedangkan ahli agama memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki potensi untuk mengembangkan diri dan alam semesta guna mendapatkan perkenan Tuhan. Manusia diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk dan struktur yang amat baik.

Sebagaimana manusia dikaruniai oleh Tuhan beberapa potensi atau daya sehingga memungkinkan untuk menjadi khlifah dan pengemban amanat di muka bumi. Diantara daya-daya yang dimiliki manusia adalah daya pikir, daya emosi dan daya keinginan, yaitu :
  • Daya Pikir : Daya manusia mempunyai kemampuan yang luar biasa, namun sifatnya nisbi dan terbatas, bahkan daya pikir manusia bisa dipergunakan untuk hal-hal yang positif, konstruktif dan juga bisa digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif dan destruktif. Petunjuk agama sangat diperlukan untuk memberi arah bagi daya pikir sehingga muncul pemahaman rasional, obyektif dan kritis. Disamping itu, agama memberi informasi bagi hal-hal yang berada di luar jangkauan akal manusia terutama hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip akidah dan ibadah.
  • Daya Emosi : Daya emosi yang tidak terkendali akan membuat seseorang bertindak over acting, brutal dan berbuat kezaliman. Petunjuk agama memberikan tuntunan agar daya emosi dapat berfungsi secara wajar, tidak berlebihan dan tidak perlu ditekan sama sekali.
  • Daya Keinginan : Keinginan manusia untuk memperoleh sesuatu baik yang berbentuk fisik material ataupun yang bersifat mental spiritual, tidak akan habis-habisnya jika tidak terkendali, maka manusia akan rakus dan tamak. Petunjuk agama akan menetralisir keinginan-keinginan manusia sehingga ia berada pada jalur yang benar dan membawa ketenangan, ketentraman dan kedamaian. Essensi ajaran agama adalah keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam ilmu kalam disebut aqidah tauhid, ia menjadi sumber kekuatan dan kehidupan jiwa manusia yang paling tinggi. Tauhid mendidik jiwa manusia untuk mengikhlaskan seluruh hidup dan kehidupannya guna mencapai kehidupan di dunia dan akhirat.
Aqidah tauhid mempunyai fungsi ganda. Satu sisi ia merupakan keyakinan yang bersifat teoritis dan ideal, di sisi lain membentuk watak, sikap dan tingkah laku manusia. Aktivitas manusia berhubungan erat dengan keyakinan agama yang dianutnya. Tinggi rendahnya kualitas keagamaan seseorang memberikan corak dalam kesehariannya. Seseorang yang memiliki keyakinan agama secara benar ditandai dengan :
    1. Memiliki pendirian yang teguh dan kokoh tidak mudah terombang-ambing atau dipengaruhi.
    2. Membuahkan hasil usaha yang dapat diserap manfaatnya oleh masyarakat.
    3. Memberikan perlindungan kepada sesama manusia, membantu yang lemah dan membela yang teraniaya.
    Keterkaitan agama serta pengaruhnya dalam kehidupan manusia disimpulkan dalam sembilan butir, yaitu :
    1. Menghilangkan pandangan yang sempit dan picik.
    2. Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri.
    3. Menumbuhkan sifat baik hati dan penuh hikmat.
    4. Membentuk manusia yang berbudi dan adil.
    5. Menghilangkan sifat murung dan putus asa.
    6. Membentuk pribadi yang teguh, sabar dan tabah serta optimis.
    7. Menanamkan semangat satria dan berani.
    8. Memupuk damai dan ridho.
    9. Membentuk manusia menjadi taat dan tunduk sepenuhnya kepada aturan illahi.
    Uraian di atas menunjukkan bahwa agama adalah kebutuhan hidup yang mendasar dan membimbing manusia baik secara individu, masyarakat maupun bangsa. Hidup beragama merupakan fitrah manusia yang bersifat umum, tidak hanya terbatas pada orang tertentu atau bangsa tertentu.

    Pendekatan Rasional
    Dalam memahami ajaran agama dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Bisa dipahami melalui pendekatan rasional dan juga dapat dipahami secara emosional. Pendekatan rasional lebih bersifat posteori, empirik, dialogis dan toleran tanpa meninggalkan normativitas ajaran agama yang dianut, sedangkan pendekatan emosional lebih bersifat apriori, sarat dengan klem kebenaran dogmatis, sehingga bercorak eksklusif dan lebih meninggalkan finalitas dan pemutlakan suatu pemahaman.

    Peran Agama Dalam Pembangunan Nasional
    Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Departemen Agama sejak 1946, ini berarti bahwa Negara dan Pemerintah RI ikut menjamin, membantu, mengurus dan mendukung kehidupan keagamaan umat dan rakyat agar dapat menjalankan hak asasi yang paling mendasar. Di samping itu juga agar secara melembaga dapat memberikan sumbangan spiritual, moral dan etika bagi pembangunan nasional.

    Menurut data Departemen Agama terdapat 298 ormas yang terbentuk berdasarkan kesamaan agama. Pemerintah banyak menggunakan organisasi keagamaan untuk komunikasi dua arah :
    • Majelis Ulama Indonesia (MUI) mewakili Umat Islam
    • Persatuan Gereja-geraja Indonesia (PGI) mewakili Umat Kristen
    • Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) mewakili Umat Katolik
    • Parisada Hindu Dharma (Parisada) mewakili Umat Hindu, dan
    • Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) mewakili Umat Buddha.
    Keteladanan
    Setiap komponen bangsa, termasuk di dalamnya para ilmuwan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh ormas, harus senantiasa memberikan contoh dalam setiap ucapan, tindakan dan perbuatan. Peningkatan pemahaman agama secara rasional merupakan upaya penghayatan nilai-nilai keagamaan yang diharapkan dapat membentuk kualitas kepribadian yang disinari oleh keimanan dan ketaqwaan.

    Keteladanan ini lebih ditekankan lagi dalam kehidupan keluarga. Apabila setiap anggota keluarga dapat melaksanakan dengan baik apa yang diajarkan oleh agama, maka dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan timbul hal-hal di luar ketentuan norma-norma atau nilai-nilai dalam lingkup yang lebih luas, tentunya akan mendukung stabilitas kehidupan nasional.

    Kesimpulan
    Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dapat dirumuskan beberapa kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut :
    1. Pemahaman masyarakat terhadap agama masih banyak yang bercorak tradisional dan bersifat ekstrinsik, sehingga banyak masyarakat yang aktif melakukan ibadah dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi prilaku budaya nasionalnya tidak mencerminkan kepribadian yang disinari oleh iman dan takwa, bahkan di tengah masyarakat muncul berbagai aliran yang dipandang menyimpang dari ajaran agama yang sebenarnya.
    2. Pemahaman ajaran agama perlu pendekatan intrinsik yang ditandai dengan kemampuan menangkap makna filosofi atau hikmah yang terkandung di dalam ajaran agama. Pendekatan intrinsik ini membuat suasana kehidupan beragama akan lebih bermakna, di samping membentuk kesalehan ritual juga akan menciptakan pribadi yang memiliki kesalehan sosial.
    3. Penanaman nilai-nilai agama yang efektif dilakukan secara sungguh-sungguh di tiga lingkungan pendidikan, yaitu rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Tentunya memerlukan penanganan profesional serta penyiapan sarana dan prasarana pendukung yang memadai.
    Saran-saran
    1. Perlu penataan kegiatan keagamaan secara profesional dengan menggunakan manajemen modern. Kegiatan yang dilaksanakan baik dilakukan pada penghayatan nilai-nilai moral agama serta hal-hal yang menyentuh aspirasi. Penghayatan yang berorientasi pada peningkatan taraf hidup masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kebutuhan fisik material dengan mental spiritual.
    2. Perlu perubahan sikap dalam memahami ajaran agama dari pendekatan tradisional, dalam hal ini disarankan agar para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh ormas memiliki visi yang sama dengan peningkatan sumber daya manusia.
    3. Diharapkan kepada pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan agar memprioritaskan dan menekankan pentingnya pembentukan kepribadian bangsa yang agamis, diselenggarakan pada institusi pendidikan, antara lain dengan mengefektifkan jam pelajaran agama serta menghidupkan kembali pelajaran budi pekerti di sekolah.
    Demikianlah beberapa kesimpulan dan saran untuk masukan pengambil kebijakan dari Departemen Agama. Mudah-mudahan bermanfaat untuk pembangunan bangsa pada era reformasi ini.

    Disampaikan  pada Seminar Keberadaan Agama Tao di Indonesia, Hotel Mandarin Jakarta, 24 Agustus 2005