Selasa, 08 Februari 2011

KOMENTAR AKADEMISI

Mewujudkan Kehidupan Beragama Di Indonesia Yang Berlandaskan Pada Semangat Kebangsaan

Oleh : Prof. Dr. M. Ridwan Lubis
Kapuslitbang Departemen Agama RI

Internalisasi agama di Indonesia dimulai dari wilayah kehidupan masyarakat agraris yang salah satu intinya adalah berusaha "berdamai" dengan alam. Atas dasar itu, maka sekalipun agama-agama mondial telah berkembang ke kawasan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, akan tetapi hal ini tidak serta-merta menghilang secara radikal pola keberagamaan masyarakat agraris dan berbudaya.

Secara juridis formal kedudukan agama dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia telah selesai, yaitu agama sebagai landasan etik, moral dan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan penegasan seperti itu, maka Indonesia tidak akan menjadi Negara Agama dan juga sebaliknya tidak akan bergeser menjadi negara yang bersikap antipati terhadap agama. Munculnya gagasan tersebut tidak murni dari pertimbangan yuridis formal semata, akan tetapi berpangkal dari sistem kebudayaan yang akarnya terhujam jauh di dalam hati sanubari pendiri bangsa ini.

Akan tetapi penegasan tentang posisi hubungan agama dan negara sebagaimana yang dikemukakan di atas belum tentu dapat teraplikasikan dalam kehidupan sosial. Persoalan-persoalan yang masih terus menjadi agenda pembicaraan kita adalah bagaimana memahami makna keberagamaan di tengah persimpangan arus tradisionalitas dan modernitas, bagaimana merumuskan kompetisi yang ideal dari agama-agama dalam memberikan kontribusi kepada negara, bagaimana kelompok penganut agama mayoritas melihat minoritas dan demikian pula sebaliknya kelompok minoritas melihat mayoritas dan lain sebagainya.

Hakikat Keberagamaan
Agama adalah sumber nilai, paling tidak, menjelaskan tiga hal yang sebelumnya tidak dikenal oleh manusia rumusannya secara kongkrit. Pertama, agama menjelaskan adanya kekuatan yang tidak terbatas yang berada di luar struktur alam semesta. Oleh karena Ia adalah merupakan kekuatan tidak terbatas yang berada dengan sendirinya. Ia merupakan sesuatu yang absolut dan Maha Sempurna dan kepada-Nya-lah semua ciptaan akan menggantungkan keberadaannya. Dalam agama, Zat yang absolut Maha Sempurna itu disebut Tuhan.

Kedua, agama menegaskan tentang sesuatu perbuatan yang baik dan buruk. Sekalipun manusia mengklaim bahwa ia juga bisa mengetahui tentang baik dan buruk itu, akan tetapi pengetahuan manusia itu bersifat relatif dan terbatas. Adanya keterbatasan pengetahuan itu disebabkan karena sumber penilaian itu datang dari dalam diri manusia, sehingga tidak memiliki acuan yang universal.

Ketiga, agama menegaskan  adanya keharusan manusia untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Adanya dua keharusan ini, disebabkan karena perjalanan kehidupan manusia tidak berhenti di alam fana ini, melainkan akan menuju kepada kehidupan yang abadi yaitu yang disebut alam baqa (kekal/akhirat). Karena itu, setiaporang hendaklah rela menunda kenikmatan sementara untuk meraih kenikmatan yang abadi (asketisme intelektual, zuhd).

Atas dasar itu, maka keberagamaan (religiositas) selayaknya harus mengalami promosi dari komitmen simbolik kepada substansi, karena komitmen simbolik tidak lebih dari wawasan pengetahuan yang baru mampu menangkap fenomena. Dan apabila terjadi yang demikian, maka komitmen keberagamaan tersebut masih berada pada dunia nalar-logik dan akhirnya hanya akan melahirkan masyarakat yang tidak bisa menyumbang kepada terbentuknya peradaban (meaningless society).

Pengalaman kesejarahan inilah yang telah dilalui oleh bangsa kita selama beberapa tahun yang lalu. Komitmen keberagamaan yang substansif adalah wawasan keberagamaan yang tidak lagi berada sebatas fenomena simbolik di atas, akan tetapi telah meningkat kepada pencapaian substansi agama, yaitu aspek penghayatan esoteris yang dalam terminologi agama disebut dengan sufisme, tasawuf, tarekat, mistisisme, dan lain sebagainya.

Beragama tidak lagi dipandang sekadar sebagai menunjukkan identitas diri untuk membedakan dari saudaranya yang lain, akan tetapi merupakan upaya penyatuan esensi dan eksistensi diri manusia sekaligus. Dalam kaitan inilah, agama selain menampilkan Ketuhanan dalam wujud samudera imanensi ilahiah, di mana manusia menemukan kebahagiaan di dalamnya.

Wujud keberagamaan pada aspek yang kedua ini dapat dilihat sebagai pertautan sekaligus antara dimensi ilahiah dan insaniah. Adanya perbedaan agama yang dianutnya dengan saudaranya yang lain tidak lagi sekadar terwujudnya dalam perbedaan (agree in disagreement), akan tetapi labih jauh lagi, ia menemukan nikmat keimanannya dengan berkaca diri pada saudaranya yang menganut sistem kepercayaan yang berbeda. Wujud keberagamaan seperti inilah yang diharapkan akan melahirkan masyarakat yang penuh arti (meaningfull society). Atau dengan perkataan lain, ia membuthkan adanya orang yang menganut sistem kepercayaan yang lain sebagai tempatnya untuk berkaca dan membangun cita-cita untuk menuju hidup yang paripurna.

Format kehidupan beragama yang demikian tidak akan memberikan ruang gerak terjadinya konflik sosial apalagi yang mempertentangkan agama, karena konflik itu tidak mungkin terjadi disebabkan karena setiap agama diyakini penganutnya sama-sama mengajarkan suatu nilai yang luhur tentang kehidupan seperti kebaikan, kebajikan, toleransi, kerjasama, hidup bersama, dan lain sebagainya.

Selain dari itu, setiap penganut sistem kepercayaan akan berupaya memberikan kontribusinya kepada masyarakat dan bangsanya yang digali dari dimensi kemanusiaan dari kepercayaannya itu. Inilah sumbangan besar dari agama-agama kepada kemanusiaan seperti tauhid, cinta, dharma dan juga Tao, yaitu suatu kekuatan yang memasuki suatu kehidupan yang secara reflektif dan intuitif telah menyatukan dirinya dengan Jalan Alam Semesta yang intinya adalah perjuangan untuk menegakkan kebenaran di seantero bumi.

Format Kehidupan Beragama di Indonesia
Denga menilik dari pengalaman tentang kehidupan beragama di Indonesia, maka terdapat beberapa hal yang memerlukan perenungan kembali. Pertama, internalisasi agama di Indonesia dimulai dari wilayah kehidupan masyarakat agraris yang salah satu intinya adalah berusaha "berdamai" dengan alam. Atas dasar itu, maka sekalipun agama-agama mondial telah berkembang ke kawasan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, akan tetapi hal ini tidak serta-merta menghilang secara radikal pola keberagamaan masyarakat agraris ini. Hal ini berarti tidak terelakkan terjadinya wacana keberagamaan yang bercorak "sinkretis" antara kepercayaan lama dengan yang baru. Lebih dari itu, wawasan keberagamaan lebih dititik-beratkan kepada eskapisme atas ketidak-berdayaan manusia berhadapan dengan kekuatan alam. 

Oleh karenanya, dimensi keberagamaan yang mistis-dogmatis menjadi dominan dalam konstruksi keberagamaan masyarakat. Agama belum diaktifkan untuk menjadi inspirasi terbentuknya berbagai dinamika, kretivitas maupun inovasi sehingga kelihatannya ada kesenjangan antara kehidupan beragama yang ideal dengan realitas kehidupan bangsa yang masih tertinggal dalam berbagai sektor kemajuan.

Kedua, sikap keberagamaan itu melahirkan etos kerja pembangunan kehidupan manusia manuju kepada kemanusiaan yang paripurna. Atas dasar itulah beragama hendaknya juga melahirkan etos sosial. Harus diakui, karena setiap agama membawa nilai-nilai normatif ideal tentang kehidupan dan atas dasar itu telah memberikan penilaian terhadap kehidupan itu sendiri yang di dalamnya telah ditemukan berbagai penyimpangan nilai moralitas dalam kehidupan sosial. 

Maka dalam rangka upaya rekonstruksi sosial ini, setiap agama hendaknya dapat menyumbangkan gagasan yang konstruktif-original untuk mendesain kembali format kehidupan masyarakat. Demikian pula, hendaknya kelompok sosial membuang jauh-jauh sikap pesimis terhadap realitas kehidupan yang akhirnya menistakan nilai-nilai agama dan mencari sumber pijakan hidup yang lain, seperti sekularisme, hedonisme, permissifisme dan lain sebagainya.

Ketiga, beragama adalah hak individu yang paling asasi, oleh karena itu tidak memerlukan pengakuan dari lembaga ataupun negara. Setiap orang telah dijamin undang-undang untuk mengamalkan ajaran agama dan kepercayaannya dengan tidak melakukan penistaan terhadap ajaran agama yang sudah lebih dahulu dianut oleh masyarakat. Dengan demikian, makna kebebasan beragama juga mengandung muatan yang sangat penting, yaitu penghargaan terhadap kepercayaan orang lain. Hal ini disebabkan karena beragama adalah merupakan upaya yang sungguh-sungguh penggalian makna yang paling dalam dari wujud Tuhan Yang Maha Esa serta kehadiran makhluk ciptaan-Nya.

Keempat, agama-agama di Indonesia belum berhasil melahirkan peradaban sebagai akibat dari visi keberagamaan masyarakat masih lebih didominasi wawasan pengayaan kerohanian (spiritual enrichment), akibatnya terdapat jarak yang semakin lebar antara agama dengan ilmu atau antara wahyu dengan akal yang semestinya tidak boleh terjadi, karena hal tersebut akan mengakibatnya terjadinya degradasi kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, hakikat keberagamaan kita hendaknya adalah merupakan sinergi antara rasionalitas dengan spiritualitas, agar kelompok masyarakat tradisional-agraris dapat bekerjasama dengan kelompok masyarakat urban-modernis. Pada masa belakangan ini tampak ada kecenderungan untuk lebih mendekatkan visi ekonomi, politik, pendidikan maupun hukum kepada nilai keberagamaan, akan tetapi hasilnya masih belum optimal mengingat sudah sedemikian lamanya terjadi dikhotomi antara agama dan ilmu pengetahuan itu.

Kelima, wujud keberagamaan itu adalah terletak pada individu bukan pada masyarakat atau pranata sosial. Oleh karena itu, masyarakat hendaknya tidak mengalami keresahan sosial sebagai akibat dari terjadinya perbandingan yang tidak seimbang dalam konfigurasi penganut agama, sehingga melahirkan terminologi mayoritas dan minoritas. Berkenaan dengan itu, dominannya peranan sebuah agama tidak ditentukan oleh jumlah penganut, akan tetapi titik beratnya adalah terletak pada besar kecilnya kontribusi kemanusiaan yang disumbangkan oleh agama tersebut.

Dengan demikian, kompetisi yang terjadi di antara agama-agama adalah bersifat vertikal, yaitu kepada negara bukan horizontal, yaitu antara sesama penganut agama. Dari gagasan tersebut, maka diharapkan terjadi perlombaan setiap agama di Indonesia untuk memberikan kontribusinya kepada proses perjalanan rekonstruksi sosial itu, sehingga agama di Indonesia mendorong penganutnya untuk menghasilkan sebuah peradaban besar di kemudian hari.
Membangun Kerukunan Umat Beragama
Sekalipun gagasan untuk membangun kerukunan antar umat beragama di Indonesia telah cukup lama yang ditandai dengan berbagai kegiatan dialog pembentukkan berbagai paguyuban, akan tetapi dirasakan masih terdapat berbagai hambatan dalam membangun harmoni sosial itu. Paling tidak terdapat perbedaan cara pandang masyarakat terhadap kerukunan (1) masih adanya kesan yang berkembang dalam masyarakat, bahwa adanya "ancaman laten" antara satu agama dengan lainnya yang disebabkan oleh trauma terhadap semangat misi dari setiap agama yang kurang proporsional.

Hal ini tentunya tidak terlepas dari citra antar agama pos kolonial, (2) adanya kesediaan untuk hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama dengannya, akan tetapi tidak tertarik untuk melakukan kerjasama, karena dipandang hal itu akan secara perlahan mengikis akidah yang merupakan nilai-nilai pokok dari keimanan, (3) adanya orang yang terlalu bersemangat untuk melaksanakan kerukunan sehingga ia kehilangan pegangan akan agama yang diyakini memiliki kebenaran absolut ada dirinya, dan (4) orang yang menyadari kemajemukan masyarakat, bersedia hidup berdampingan dan lebih dari itu bersedia untuk melakukan kerjasama yang bersifat membangun program kebajikan untuk kemanusiaan.

Selama ini, opini publik kita telah dibuat lelah untuk mendiskusikan, apakah sesuatu aliran keagamaan dapat disebut sebagai agama tersendiri atau tidak? Persoalannya bagi kita tentunya terlebih lagi bagi penganut agama dan kepercayaan yang bersangkutan, bahwa adanya pengakuan itu tidak menjadi hal yang begitu penting. Ia tidak lebih dari sekadar simbol pengakuan struktur sosial. Persoalan utamanya adalah apakah agama tersebut dapat memberikan sumbangan bagi program kemanusiaan di negeri ini dan pada akhirnya apakah agama dan kepercayaam tersebut dapat jidup bertahan dari gempuran modernisasi.

Hal ini disebabkan karena dalam pandangan kita agama yang dapat terus bertahan adalah yang memiliki tiga karakter, yaitu agama yang menganut prinsip kesetaraan yang sesungguhnya baik dilihat dari sudut keragaman etnis, kelamin, budaya, maupun geografis, prinsip kedua adalah rasionalitas dan kesederhanaan ajaran agama sehingga ia akan dapat dipeluk oleh setiap orang dan manakala agama tersebut mendorong umatnya untuk kemajuan dan pada saat yang sama juga tidak lupa memetik kearifan dari pengalaman masa lalu.

Disampaikan pada Seminar Keberadaan Agama Tao di Indonesia, 24 Agustus 2005, Hotel Mandarin Jakarta.




Implementasi Hak Asasi Manusia Atas Nuansa Agama Tao di Indonesia

Oleh : Dr. Amsal Bakhtiar, MA
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat-Universitas Islam Negeri JakartaRI

"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Sabiin (penyembah bintang) siapa saja diantara mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati" (Al-Baqarah-62)

Salah satu keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah kesadaran atas eksistensinya, sehingga dia mampu merumuskan apa yang terbaik bagi diri dan komunitasnya. Kesadaran inilah yang kemudian menghasilkan beberapa kesepakatan yang tidak saja diakui dalam kelompok kecil, tetapi diakui secara universal.

Hak asasi manusia yang dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah salah satu contohnya, bahwa setiap manusia berhak untuk hidup, hak untuk bekerja, hak untuk mengungkapkan pendapat, dan hak untuk beragama. Kesepakatan ini kemudian dikawal oleh pemerintahan setiap negara dalam bentuk yang lebih detail dan spesifik, seperti undang-undang dan peraturan pemerintah.

Negara Republik Indonesia secara jelas dan tegas mencantumkan kebebasan untuk meyakini agama dan menjalankan agama tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2, yang berbunyi : "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu". Secara yuridis formal, negara sudah memiliki instrumen yang memadai dalam rangka mangatur kehidupan umat beragama.

Hal ini dipertegas lagi dengan amandemen UUD 1945 pasal 28 ayat 4 dan 5 yang berbunyi : "Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, teruatama pemerintah" dan "Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan". Terlihat jelas dari uraian Undang-undang Dasar tersebut, jaminan bahkan perlindungan negara kepada penduduk untuk beragama. Nada yang sama sering juga kita dengan dari para pejabat negara yang menghadiri perayaan hari-hari keagamaan. Dari penjelasan tersebut amat dukungan negara dan undang-undang dalam menegakkan hak asasi manusia.

Persoalannya bukan pada tataran konsep dan wacana, tetapi pada tataran implementasi dan praktisi. Apakah konsep yang demikian ideal sudah dilaksanakan dengan baik dan jujur pada semua tingkat, sehingga tidak muncul persoalan-persoalan diskriminasi dan ketidakadilan. Tentu saja untuk menjawab pertanyaan ini kembali kepada masing-masing pihak yang mengalami kehidupan beragama di Indonesia.

Secara kaca mata, kita bisa mengatakan bahwa pemerintah sudah berusaha untuk mengatur kehidupan beragama dengan baik dan didukung oleh tradisi lokal yang cukup memadai untuk saling menghormati orang lain yang berbeda agama. Namun, pengetahuan dan kehidupan itu tentunya belum maksimal dan ideal, masih ada beberapa ganjalan bagi agama tertentu untuk menjalankan keyakinan masing-masing.

Masalah politik dan ideologi, kadangkala lebih dominan dalam menentukan hak hidup suatu agama, sehingga terlihat setiap kebajikan pemerintah bisa pada kepentingan kekuasaan. Kita sama-sama saksikan bagaimana pemerintah Orde Baru memperlakukan agama tertentu secara tidak adil, karena terlihat dianggap dekat ideologi kemunisme. Padahal, agama tersebut mungkin di negara asalnya sendiri juga merupakan bagian yang terpinggirkan dari sistem kemunisme. Generalisasi seperti ini sering terjadi dalam mengambil kebijakan pemerintah tanpa memperhatikan dampak besar yang akan timbul.

Sebenarnya, kalau diteliti komunitas agama yang murni tanpa ada kaitan dengan politik dan ideologi atau dengan kepentingan lain, ternyata tidak terdapat persoalan yang mendasar dalam bergaul dan hidup berdampingan secara damai. Buktinya, pernah beberapa rekan dari Departemen Hukum dan HAM melakukan penelitian tentang kebijakan pemerintah mengenai perlindungan kepada pemeluk agama minoritas di Indonesia : Studi kasus di Sumatera Barat, Bali, dan Manado.

Dari hasil penelitian dan wawancara ti tiga daerah yang masing-masing memiliki perbandingan mayoritas dan minoritas yang cukup signifikan, ternyata tidak terjadi konflik yang tajam antara pemeluknya. Hanya saja dalam beberapa kasus hak-hak minoritas memang belum terakomodir secara proporsional. Inilah yang menjadi sedikit ganjalan dalam mengimplementasikan hak-hak pemeluk agama minoritas di masyarakat mayoritas. Persoalan yang dihadapi oleh pemeluk agama minoritas pada umumnya hampir sama, seperti kesulitan mendirikan rumah ibadah, mendapatkan tanah kuburan, dan memakai simbol-simbol keagamaan.

Di samping itu, karena konflik antar umat beragama tidak begitu menonjol, pemerintah daerah belum merasa perlu mengeluarkan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan kehidupan umat beragama. Pemerintah daerah beranggapan bahwa kehidupan beragama diatur oleh pemerintah pusat dan Kementerian Agama. Hanya saja untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di kalangan umat beragama, mereka membentuk forum Kerukunan dan Konsultasi Umat Beragama.

Forum ini terdiri dari beberapa tokoh agama dan mendiskusikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat beragama, terutama yang bersinggungan dengan agama lain, seperti pindah agama dan pendirian rumah ibadah. Kerukunan umat dan saling menghormati antar umat beragama di tiga daerah itu tidak lepas dari vocal wisdom yang sudah terbangun sejak lama. Meskipun kehidupan mereka tidak serumit di kota metropolitan, seperti Jakarta, ternyata mereka mampu memberi contoh bagaimana hidup damai dalam satu komunitas yang berbeda.

Sebenarnya perlindungan dan penghargaan terhadap penganut yang berbeda pada setiap suku dan agama di Indonesia sudah cukup memadai. Buktinya tidak ada suku yang menolak kedatangan agama dari luar secara frontal. Mereka mampu beradaptasi dengan agama yang semuanya adalah pendatang karena tidak ada agama asli di Indonesia. Dari awal kedatangan agama-agama tersebut tidak menimbulkan gejolak apa-apa, bahkan memberikan pencerahan dan kontribusi yang positif bagi kemajuan Indonesia. Kita tidak dapat memungkiri, bahwa peran umat beragama dalam merebut kemerdekaan dari penjajah amat besar. Begitu juga dukungan etnis dan lapisan masyarakat yang begitu kuat, sehingga memperlancar proklamasi Indonesia.

Dalam agama Islam secara tegas diungkapkan, bahwa Tuhan dengan sengaja menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu sama lain saling mengenal. Sebab, jika Tuhan ingin menciptakan umat itu satu (termasuk satum iman) tentu akan bisa, tetapi tidak dilakukan-Nya. Dia menegaskan bahwa keberagaman itu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan itu sendiri. Penghargaan Islam terhadap penganut agama lain juga cukup besar, sebagaimana tercantum dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 62, yang artinya : "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabiin (penyembah bintang) siapa saja diantara mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati".

Jelas sekali, bahwa agama Islam menghargai substansi agama bukan hanya sekadar simbol dan ritual. Inti agama adalah kepercayaan kepada yang Maha Gaib, kehidupan kekal, dan berbuat kebajikan. Kalau dasar yang paling fundamental ini tidak ada, maka bangunan suatu agama bagaikan rumah tanpa fondasi. Penekanan pada amal (perbuatan) merupakan bagian penting dari ajaran Islam, karena iman tanpa perbuatan tidak ada artinya, begitu juga perbuatan tanpa iman akan sia-sia. Iman dan perbuatan bagaikan dua sisi dari mata uang yang sama, yang satu sama lain saling melengkapi.

Dari segi agama Tao, persoalan hak beragama dan perdamaian semesta adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran fundamental Tao. Tao amat menekankan keseimbangan hidup sebagaimana tergambar dalam simbol Yin dan Yang (Taiji), Yin adalah simbol negatif, yang mewakili bumi, malam, kegelapan, dingin, batin, dan feminine. Adapun Yang mewakili langit, siang, panas, zahir, dan maskulin dengan transformasi diri Yin dan Yang bergerak secara spontan menghasilkan siklus perubahan.

Ketika siklus ini mencapai puncaknya Lao Tze membentuknya. Tao menghasilkan satu, satu menghasilkan dua, dan dua menghasilkan tiga, serta tiga menghasilkan semua makhluk. Pada prinsipnya Yin dan Yang bukanlah suatu yang berlawanan dan satu sama lain, karena Yin tidak dapat eksis tanpa keberadaan Yang, begitu juga sebaliknya. Kebersamaan Yin dan Yang dalam satu siklus disebut Tai Ji yang merupakan puncak dari kesempurnaan dan keseimbangan, yang juga disebut Tai Ping.

Karena itu, keseimbangan dalam alam adalah bagian yang fundamental dalam ajaran Tao, termasuk bagaimana menyatukan energi yang terdapat dalam dua unsur Yin dan Yang. Ini juga yang mendorong Tao sebagai agama damai dan menganjurkan kerukunan di antara umat bergama, sebagai amanah diungkapkan dalam salah satu ajarannya, yaitu : "Taoist have always long for a society of Supreme Peace. the reason ? The Great Tao is notwidespread among the people, and society is not in accordance with the Tao of Heaven sometimes it even against it. Tao is in accordance with nature; a stable society with harmonious relation between its member must be done in agreement with their natural laws. Although the society of Supreme Peace is by no means an exclusive Toiast idea, Taoism has its own understanding of the concept. The basis of supreme Peace lies in the spread of the Great Tao; Human Relationsship, Ceasing Hostility and Warfare; Equality; The Unity of Heaven and Man. Tao is Universal.

Sama dengan ajaran agama lain, Tao amat menekankan perdamaian dan kesamaan hak (equlity) untuk semua. Perdamaian tidak akan terwujud kalau keadilan tidak tegak di tengah-tengah masyarakat dan pemerintah. Sumber keadilan adalah jika semua manusia memiliki hak sama dan diperlakukan sama, termasuk hak menganut agama. Diskriminasi atas manusia berdasarkan agama, ras, suku dan lain-lain, adalah bagian yang tidak dapat ditolerir, baik oleh ajaran agama maupun oleh undang-undang negara.

Jadi, ketika persoalan implementasi hak-hak asasi dipertanyakan, maka yang utama dilihat adalah persoalan perlakuan dan kebijakan negara terhadap kelompok tertentu yang mungkin dalam beberapa aspek tidak mendapat pelayanan yang layak sebagaimana warga negara yang lain. Negara modern adalah lembaga yang berhak dan memiliki otoritas untuk melindungi semua warga negara secara adil dan proporsional dan pada waktu yang sama negara memiliki otoritas melakukan pemaksaaan dan kekerasan terhadap warganya. Contohnya, warga yang tidak taat membayar pajak dapat dipenjara atau menembak mati warga yang melakukan pembunuhan. Perlakuan negara yang demikian adalah bagian untuk menjaga hak-hak orang lain, sehingga tidak terjadi hakim sendiri.

Implementasi hak-hak asasi di Indonesia mengalami pasang surut, terutama pada masa Orde Baru. Akibat dari prasangka dan kepentingan politik, maka ada kelompok yang dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang diskriminatif. Karena hal itu sudah berjalan begitu panjang dan lama, seakan-akan tidak terasakan hal itu sudah merupakan suatu yang wajar dan bahkan tidak dipersoalkan lagi.

Runtuhnya rezim Orde Baru dan muncul Orde Reformasi ternyata tidak serta merta membawa perubahan yang drastis, karena kebiasaan-kebiasaan lama sudah dihilangkan dalam jangka pendek, terutama di kalangan birokrat yang nota bene tidak banyak berubah. Mentalitas dan budaya seperti inilah yang kemudian perlu dilihat sebagai proses yang memerlukan waktu untuk mengubahnya. Memang tidak mudah mengubah suatu mind set yang sudah begitu mengkristal dalam diri kita, bahkan perubahan ke arah yang lebih baikpun kedangkala ditolak dengan alasan khawatir akan muncul gejolak dan goncangan di tengah-tengah masyarakat.

Tentu saja keadaan itu bukan menjadikan semangat kita kendor dalam memperjuangkan dan menegakkan hak-hak asasi manusia. Keadaan yang demikian perlu dilihat dari sudut optimistik, sehingga kerja-kerja sistematis kita akan dapat menghasilkan yang relatif dapat dibanggakan kalau tidak mencapai kesempurnaan. Semua komponen bangsa perlu diberi kesadaran akan makna pentingnya hidup bersama dan keberagaman. Keberagaman adalah kodrat ilahi, yang perlu dimenej dengan baik, karena ketidakmampuan mengatur keberagaman itu adalah sumber konflik yang akan membahayakan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena itu, tanggungjawab dalam memelihara keseimbangan antara berbagai kepentingan tidak hanya dibebani kepada negara, tetapi juga kepada para tokoh masyarakat dan agama. Para tokoh agama dan masyarakat diharapkan dapat memberikan warna keberagaman yang kondusif, toleran, dan sejuk bagi semua makhluk. Kalau hal itu dapat dilaksanakan, maka akan terwujud agama yang benar-benar baik untuk semua dan pada waktu yang bersamaan orang yang tidak percaya pada agama akan sadar, bahwa agama itu tidak selalu menampakkan wajah garang dan sadis sebagaimana yang sering dituduhkan kepada kaum beragama.

Disampaikan, pada Seminar Keberadaan Agama Tao Di Indonesia, Hotel mandarin - Jakarta, 24 Agustus 2005.

Peranan Agama Tao Indonesia Dalam Kontekas Kehidupan Pancasila dan UUD 1945
Oleh : Drs. H.M. Anda Hakim, SH, MH, MBL

Di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, agama mendapat kedudukan yang amat essensial. Pada Pasal 29 UUD 1945, dijelaskan bahwa Negara berdasarkan atas ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.

Peranan agama dalam pembangunan nasional pada hakikatnya adalah Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya dan pembangunan seluruh Masyarakat Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar dan pedoman pembangunan nasional. Tujuannya adalah untuk mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bebas, merdeka, berdaulat dan bersatu dalam suasana kehidupan bangsa yang aman, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

Arah pembangunan jangka panjang adalah untuk meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia agar makin maju, mandiri dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Rasa cinta tanah air yang melandasi kesadaran kebangsaan, semangat penganvidan dan tekad untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik harus terus dibangkitkan dan dipelihara, sehingga berkembang menjadi sikap mental dan sikap hidup masyarakat yang mampu mendorong percepatan proses pembangunan segala aspek kehidupan bangsa, guna memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa untuk terwujudnya tujuan nasional.


Khusus pada peranan sektor agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kebijakan pembangunan antara lain terdiri dari atas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuha Yang Maha Esa yang merupakan wujud kehidupan beragama memegang peranan penting bagi kehidupan bangsa, pembangunan kualitas keimanan dan ketakwaan dilaksanakan dengan lebih memperdalam pemahaman dan dan peningkatan pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama untuk membentuk akhlak mulia, sehingga mampu menjawab tantangan masa depan. Dengan demikian, diharapkan terbentuk kepribadian bangsa yang setia pada norma dan ketentuan yang berlaku serta memacu etos kerja, produktivitas dan rasa kesetiakawanan sosial.

Agama sebagai ajaran Tuhan yang bersumber pada kitab suci mengandung sistem nilai yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Tuhan dan hubungan anta sesama manusia secara hirizontal. Pemahaman terhadap agama harus terimplementasi di dalam kehidupan, karenanya pemahaman agama bukan hanya dilihat dalam pelaksanaan kewajiban ibadah saja, tetapi juga norma-norma yang diajarkan di dalam agama harus terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Dengan semikian, seharusnya suasana kehidupan bermasyarakat diwarnai oleh prilaku bersahabat, toleransi, penuh keakraban dan keserasian.

Namun dalam kenyataannya nampak suasana kehidupan sosial yang tidak menggambarkan pola sikap dan pola tindak yang tidak relevan dengan kepribadian dan nilai-nilai norma yang mulia. Berbagai bentuk penyimpangan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, pengabdian ketentuan hukum dan tindak kekerasan serta kebrutalan terjadi di lingkungan kehidupan masyarakat, ini semua tentunya tidak sejalan dengan kepribadian bangsa yang agamis.

Disamping itu, perkebangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat pesat serta perubahan yang hampir di semua sektor kehidupan akibat pengaruh lingkungan strategis, internasional, regional maupun nasional berdampak pada munculnya keanekaragaman pemahaman dan penafsiran ajaran agama. Di sati sisi, hal ini berdampak positif bagi perkembangan khasanah keilmuan dan memperluas wawasan, namun di sisi lain dapat berdampak negatif seperti munculnya sektarian, fanatik, ekstrim, dan lain sebagainya.

Rasionalisasi Pemahaman Agama
Manusia sebagai makhluk Tuhan sejak lahir telah diberikan berbagai petunjuk, guna keperluan hidupnya secara baik dan benar. Petunjuk yang diberikan kepada manusia yakni insting, indera, akal dan agama. Insting memiliki kemampuan sederhana dan sangat terbatas. Demikian juga kemampuan indera manusia sangat terbatas, bahkan dalam hal-hal tertentu kemampuan indera manusia kalah saing dengan kemampuan indera hewan. Kemampuan akal memang luar biasa, namun jangkauannya juga terbatas. Tuhan menginginkan yang baik dan yang terbaik untuk manusia, sehingga disamping akal Tuhan memberikan lagi petunjuk agama.

Di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, agama mendapat kedudukan yang amat essensial. Pada Pasal 29 UUD 1945, dijelaskan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.

Ajaran agama pada hakekatnya adalah wahyu Tuhan yang termaktub dalam kitab suci. Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip ajaran dalam bidang akidah, ibadah dan muamalah, serta nalai-nilai moral (akhlak) yang mulia. Keseluruhannya merupakan kebutuhan hidup manusia guna mencapai kebahagiaan dan kehidupan di dunia dan di akherat.

Rasionalitas pemahaman agama perlu ditingkatkan, sehingga menghasilkan kepribadian yang luhur bagi segenap rakyat dan Bangsa Indonesia. Di dalam pokok pikiran keempat yang terkandung dalam Pemnbukaan UUD 1945 adalah negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, UUD harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah selalu penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat.

Pancasila
Pancasila sebagai landasan idiil, lahir melalui proses yang cukup panjang, melewati rentang sejarah perjuangan bangsa yang berakar pada jati diri Bangsa Indonesia. Dengan demikian, Pancasila itu sendiri merupakan :
  1. Dasar Negara Republik Indonesia, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Pandangan hidup Bangsa Indonesia, yang dapat mempersatukan serta memberi petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin dalam masyarakat yang majemuk.
  3. Jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia, karena memberi corak yang khas jatidiri Bangsa Indonesia.
  4. Tujuan yang hendak dicapai oleh Bangsa Indonesia, yakni suatu masyarakat yang adil, makmur yang merata materiil dan spiritual.
  5. Perjanjian luhur seluruh Rakyat Indonesia yang telah disetujui oleh seluruh Rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya, baik menjelang maupun setelah kemerdekaan.
Sedangkan petunjuk-petunjuk nyata dan jelas dari wujud pengamalan Pancasila dirumuskan dalam 45 butir, beberapa butir di antaranya mewarnai kehidupan keagamaan dan kepribadian bangsa, yaitu :
  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3.  Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
  4. Membina kerukunan diantara sesama umat beragama dan kepercayaan tehadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
  6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
  7. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
Memang pengamalan Pancasila yang telah dirumuskan dalam UUD 1945, yang setiap[ butir-butirnya itu harus merupakan satu kesatuan yang  bulat dan utuh dari kelima silanya. Butir-butir yang diungkap di atas hanyalah sekedar memberi gambaran, bahwa kepribadian Bangsa Indonesia adalah kepribadian yang ber-Ketuhanan atau kepribadian yang agamis.

Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionil, mengikat setiap warga Negara Indonesia di manapun berada. Sebagai hukum dasar, maka UUD 1945 merupakan sumber hukum, seperti undang-undang, peraturan, keputusan pemerintah, bahkan seluruh kebijaksanaan pemerintah.

Pada pasal 29 UUD 1945, dijelaskan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Hal ini menunjuk bahwa agama mendapat kedudukan yang amat essensial di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
Dalam sejarah yang panjang telah muncul pandangan tentang manusia dan upaya untuk mencari hakikat manusia terus berkembang dari masa ke masa. Realisme klasik memandang manusia sebagai makhluk hylomorfis yang mempunyai hakikat rangkap, yaitu raga material yang terorganisir dan hidup rasional yang menggerakkannya. Penganut idealisme memandang manusia dari sudut kebudayaannya atau apa yang dihasilkannya.

Menurut pandangan ini, manusia memiliki simbol-simbol dan menciptakan satuan-satuan yang bersifat fungsional. Sementara itu, materialistis historis memandang manusia dari sudut tingkah lakunya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materi, sedangkan ahli agama memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki potensi untuk mengembangkan diri dan alam semesta guna mendapatkan perkenan Tuhan. Manusia diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk dan struktur yang amat baik.

Sebagaimana manusia dikaruniai oleh Tuhan beberapa potensi atau daya sehingga memungkinkan untuk menjadi khlifah dan pengemban amanat di muka bumi. Diantara daya-daya yang dimiliki manusia adalah daya pikir, daya emosi dan daya keinginan, yaitu :
  • Daya Pikir : Daya manusia mempunyai kemampuan yang luar biasa, namun sifatnya nisbi dan terbatas, bahkan daya pikir manusia bisa dipergunakan untuk hal-hal yang positif, konstruktif dan juga bisa digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif dan destruktif. Petunjuk agama sangat diperlukan untuk memberi arah bagi daya pikir sehingga muncul pemahaman rasional, obyektif dan kritis. Disamping itu, agama memberi informasi bagi hal-hal yang berada di luar jangkauan akal manusia terutama hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip akidah dan ibadah.
  • Daya Emosi : Daya emosi yang tidak terkendali akan membuat seseorang bertindak over acting, brutal dan berbuat kezaliman. Petunjuk agama memberikan tuntunan agar daya emosi dapat berfungsi secara wajar, tidak berlebihan dan tidak perlu ditekan sama sekali.
  • Daya Keinginan : Keinginan manusia untuk memperoleh sesuatu baik yang berbentuk fisik material ataupun yang bersifat mental spiritual, tidak akan habis-habisnya jika tidak terkendali, maka manusia akan rakus dan tamak. Petunjuk agama akan menetralisir keinginan-keinginan manusia sehingga ia berada pada jalur yang benar dan membawa ketenangan, ketentraman dan kedamaian. Essensi ajaran agama adalah keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam ilmu kalam disebut aqidah tauhid, ia menjadi sumber kekuatan dan kehidupan jiwa manusia yang paling tinggi. Tauhid mendidik jiwa manusia untuk mengikhlaskan seluruh hidup dan kehidupannya guna mencapai kehidupan di dunia dan akhirat.
Aqidah tauhid mempunyai fungsi ganda. Satu sisi ia merupakan keyakinan yang bersifat teoritis dan ideal, di sisi lain membentuk watak, sikap dan tingkah laku manusia. Aktivitas manusia berhubungan erat dengan keyakinan agama yang dianutnya. Tinggi rendahnya kualitas keagamaan seseorang memberikan corak dalam kesehariannya. Seseorang yang memiliki keyakinan agama secara benar ditandai dengan :
    1. Memiliki pendirian yang teguh dan kokoh tidak mudah terombang-ambing atau dipengaruhi.
    2. Membuahkan hasil usaha yang dapat diserap manfaatnya oleh masyarakat.
    3. Memberikan perlindungan kepada sesama manusia, membantu yang lemah dan membela yang teraniaya.
    Keterkaitan agama serta pengaruhnya dalam kehidupan manusia disimpulkan dalam sembilan butir, yaitu :
    1. Menghilangkan pandangan yang sempit dan picik.
    2. Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri.
    3. Menumbuhkan sifat baik hati dan penuh hikmat.
    4. Membentuk manusia yang berbudi dan adil.
    5. Menghilangkan sifat murung dan putus asa.
    6. Membentuk pribadi yang teguh, sabar dan tabah serta optimis.
    7. Menanamkan semangat satria dan berani.
    8. Memupuk damai dan ridho.
    9. Membentuk manusia menjadi taat dan tunduk sepenuhnya kepada aturan illahi.
    Uraian di atas menunjukkan bahwa agama adalah kebutuhan hidup yang mendasar dan membimbing manusia baik secara individu, masyarakat maupun bangsa. Hidup beragama merupakan fitrah manusia yang bersifat umum, tidak hanya terbatas pada orang tertentu atau bangsa tertentu.

    Pendekatan Rasional
    Dalam memahami ajaran agama dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Bisa dipahami melalui pendekatan rasional dan juga dapat dipahami secara emosional. Pendekatan rasional lebih bersifat posteori, empirik, dialogis dan toleran tanpa meninggalkan normativitas ajaran agama yang dianut, sedangkan pendekatan emosional lebih bersifat apriori, sarat dengan klem kebenaran dogmatis, sehingga bercorak eksklusif dan lebih meninggalkan finalitas dan pemutlakan suatu pemahaman.

    Peran Agama Dalam Pembangunan Nasional
    Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Departemen Agama sejak 1946, ini berarti bahwa Negara dan Pemerintah RI ikut menjamin, membantu, mengurus dan mendukung kehidupan keagamaan umat dan rakyat agar dapat menjalankan hak asasi yang paling mendasar. Di samping itu juga agar secara melembaga dapat memberikan sumbangan spiritual, moral dan etika bagi pembangunan nasional.

    Menurut data Departemen Agama terdapat 298 ormas yang terbentuk berdasarkan kesamaan agama. Pemerintah banyak menggunakan organisasi keagamaan untuk komunikasi dua arah :
    • Majelis Ulama Indonesia (MUI) mewakili Umat Islam
    • Persatuan Gereja-geraja Indonesia (PGI) mewakili Umat Kristen
    • Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) mewakili Umat Katolik
    • Parisada Hindu Dharma (Parisada) mewakili Umat Hindu, dan
    • Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) mewakili Umat Buddha.
    Keteladanan
    Setiap komponen bangsa, termasuk di dalamnya para ilmuwan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh ormas, harus senantiasa memberikan contoh dalam setiap ucapan, tindakan dan perbuatan. Peningkatan pemahaman agama secara rasional merupakan upaya penghayatan nilai-nilai keagamaan yang diharapkan dapat membentuk kualitas kepribadian yang disinari oleh keimanan dan ketaqwaan.

    Keteladanan ini lebih ditekankan lagi dalam kehidupan keluarga. Apabila setiap anggota keluarga dapat melaksanakan dengan baik apa yang diajarkan oleh agama, maka dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan timbul hal-hal di luar ketentuan norma-norma atau nilai-nilai dalam lingkup yang lebih luas, tentunya akan mendukung stabilitas kehidupan nasional.

    Kesimpulan
    Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dapat dirumuskan beberapa kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut :
    1. Pemahaman masyarakat terhadap agama masih banyak yang bercorak tradisional dan bersifat ekstrinsik, sehingga banyak masyarakat yang aktif melakukan ibadah dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi prilaku budaya nasionalnya tidak mencerminkan kepribadian yang disinari oleh iman dan takwa, bahkan di tengah masyarakat muncul berbagai aliran yang dipandang menyimpang dari ajaran agama yang sebenarnya.
    2. Pemahaman ajaran agama perlu pendekatan intrinsik yang ditandai dengan kemampuan menangkap makna filosofi atau hikmah yang terkandung di dalam ajaran agama. Pendekatan intrinsik ini membuat suasana kehidupan beragama akan lebih bermakna, di samping membentuk kesalehan ritual juga akan menciptakan pribadi yang memiliki kesalehan sosial.
    3. Penanaman nilai-nilai agama yang efektif dilakukan secara sungguh-sungguh di tiga lingkungan pendidikan, yaitu rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Tentunya memerlukan penanganan profesional serta penyiapan sarana dan prasarana pendukung yang memadai.
    Saran-saran
    1. Perlu penataan kegiatan keagamaan secara profesional dengan menggunakan manajemen modern. Kegiatan yang dilaksanakan baik dilakukan pada penghayatan nilai-nilai moral agama serta hal-hal yang menyentuh aspirasi. Penghayatan yang berorientasi pada peningkatan taraf hidup masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kebutuhan fisik material dengan mental spiritual.
    2. Perlu perubahan sikap dalam memahami ajaran agama dari pendekatan tradisional, dalam hal ini disarankan agar para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh ormas memiliki visi yang sama dengan peningkatan sumber daya manusia.
    3. Diharapkan kepada pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan agar memprioritaskan dan menekankan pentingnya pembentukan kepribadian bangsa yang agamis, diselenggarakan pada institusi pendidikan, antara lain dengan mengefektifkan jam pelajaran agama serta menghidupkan kembali pelajaran budi pekerti di sekolah.
    Demikianlah beberapa kesimpulan dan saran untuk masukan pengambil kebijakan dari Departemen Agama. Mudah-mudahan bermanfaat untuk pembangunan bangsa pada era reformasi ini.

    Disampaikan  pada Seminar Keberadaan Agama Tao di Indonesia, Hotel Mandarin Jakarta, 24 Agustus 2005















    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar