Kamis, 03 Februari 2011

CENGBENG/Qingming (清明)

Cengbeng atau Qingming (清明) memiliki posisi tersendiri dalam adat istiadat rakyat Tiongkok, merupakan hari raya penting bagi bangsa Tionghoa, kebanyakan suku bangsa di Tiongkok menyembah leluhurnya pada hari Cengbeng atau hari raya yang sejenis, mengenang dan menyembah leluhur adalah materi penting dalam kehidupan masyarakat tradisional. Sampai dengan hari ini, menyembah leluhur masih merupakan perkara besar dalam tradisi masyarakat.


Asal Usul Qingming

          Di antara hari raya tradisional yang diturunkan sampai sekarang, hanya Cengbeng atau Qingming (清明) yang merupakan hari raya gabungan musim cuaca dan adat. Sebagai salah satu dari 24 musim cuaca, pada awalnya Cengbeng merupakan lambang musim cuaca yang jatuh pada hari ke 107 setelah musim dingin tiba atau 15 hari permulaan   musim semi, tepatnya tangggal 5 April tahun Masehi. Huainanzi•Astronomi (《淮南子•天文训》) mencatat, 15 hari setelah permulaan musim semi, tangkai Bintang Tujuh menunjuk posisi B, sehingga angin Qingming (清明) bertiup. Angin Qingming adalah salah satu dari 8 angin, cirinya hangat dan segar, di bawah tiupan angin Qingming ini, langit cerah, udara segar, tumbuh-tumbuhan menghijau, burung berkicau, alam sarat kehidupan, musim cuaca ini disebut Qingming, karena  qing () berarti “jernih” dan ming () berarti “cerah”.  
         
          Sebelum Dinasti Han () dan Wei (), Cengbeng diutamakan melambangkan musim cuaca yang erat kaitannya dengan musim cuaca yang lain dan sangat penting bagi pertanian, belakangan baru menjadi hari menyembah leluhur yang sangat penting. Sebelumnya, ada satu hari raya adat untuk menyembah leluhur, namanya Hari Makan Dingin (寒食节), yang jatuh dua hari sebelum Cengbeng. Pada hari tersebut, tidak boleh pasang api, makan yang dingin saja, berziarah dan permainan gaib merupakan acara dan pemandangan yang khas pada hari tersebut.
          Setelah dinasti Tang () dan Song (), Cengbeng baru resmi menjadi hari raya tradisional, awalnya masih bersifat ganda, yaitu hari musim cuaca dan hari berziarah,  belakangan kadar hari berziarahnya makin bertambah. Di kalangan masyarakat, bahkan menggabungkan kegiatan Hari Makan Dingin dan Cengbeng menjadi satu.
          Meskipun Cengbeng diresmikannya dibelakang Hari Makan Dengin, namun sumber sejarahnya sangat jauh, boleh dianggap sebagai rangkuman pesta musim semi, yaitu Tahun Baru Imlek dan Capgome. Sejak dahulu kala, orang Tionghoa sangat mementingkan menyembah leluhur, walau pada mulanya belum ada adat berziarah. Jika ingin menyembah leluhur, dibuatlah sebuah papan nama, lalu dibawa ke kelenteng, disembah di sana. Pada zaman Chunqiu (春秋) dan Negeri Perang (战国), baru ada kegiatan berziarah, menyembah leluhur di kuburannya. Dalam Mengzi (《孟子》) terdapat sebuah lelucon, ceritanya di Negei Qi (齐国) ada seorang penganggur yang miskin, tiap pagi keluar rumah, pulang malam sudah kenyang makan dan minum, katanya ditraktir teman-temannya yang kaya raya. Terhadap istri-istrinya, dia selalu bersikap kasar. Suatu hari, seorang istrinya mengikutinya dari belakang, ternyata dia itu mengemis di kuburan. Dari cerita ini dapat diketahui bahwa pada zaman itu sudah ada kebiasaan menyembah leluhur dengan membawa makanan dan minuman ke kuburan. Tetapi ini terbatas bagi orang yang punya kedudukan sosial. Sedangkan lapisan rakyat jelata yang kedudukan sosialnya rendah dan ekonominya lemah, belum banyak yang melakukannya.
Pada zaman Han (), seiring dengan berkembangnya pikiran Konghucu, kehidupan keluarga meluas menjadi kehidupan marga, karena kebutuhan kehidupan masyarakat, pikiran mencari asal usul orang-orang semakin menguat, terhadap kuburan yang merupakan tempat berteduhnya roh-roh leluhur, semakin diperhatikan, sehingga kegiatan berziarah atau menyembah leluhur di kuburan semakin meluas. Misalnya menteri ternama pada dinasti Han () yang bernama Yan Yannian (严延年) berziarah ke Donghai (东海) jauh-jauh dari ibukota.
          Orang zaman Tang () mewarisi kebiasaan berziarah zaman terdahulunya, bahkan menyebar luaskannya sampai ke lapisan bawah. Menurut catatan Lijing (《礼经》), sebelum zaman Tang () tidak ada kebiasaan berziarah pada musim semi, tetapi pada zaman Tang () sudah ngtren sekalai. Kitab Tang Lama • Catatan Xuanzong (《旧唐书玄宗纪)   mencatat, karena melihat banyak orang berziarah pada Hari Makan Dingin, Xuanzong (玄宗) mengeluarkan perintah, “Keluarga yang terhormat, harus berziarah pada Hari Makan Dingin, dicatat masuk lima tata tertib, berlaku selama-lamanya.” Dengan demikian, kerajaan menetapkan berziarah pada Hari Makan Dingin yang jatuh dua hari sebelum Cengbeng, namun karena hari tersebut berdekatan dengan hari musim cuaca Cengbeng, sudah sejak dahulu dua hari itu berkaitan. Hari Makan Dingin dilarang pasang api, tapi Cengbeng harus pasang api hio dan lilin, maka berziarah berangsur-angsur diundurkan ke hari Cengbeng. Orang zaman Tang () sudah mengaitkan Hari Makan Dingin dan Cengbeng, penyair Bai Juyi (白居易) pada zaman itu dalam Syair Makan Dingin (《寒食野望吟》) menulis, “Kicauan burung-burung memusingkan pepohonan, siapa yang menangis di hari Cengbeng Makan Dingin?” Penyair Liu Zongyuan (柳宗元) dalam Surat Untuk Pejabat Xu (《与许京兆书》) menulis, pada hari Cengbeng, jalan-jalan penuh dengan pria dan wanita, budak dan pengemis, semuanya harus berziarah ke kuburan leluhur.
          Bukan hanya berziarah dialihkan ke Cengbeng, beberapa acara yang tadinya acara khas Hari Makan Dingin juga dialihkan ke hari Cengbeng, misalnya sepak takrau dan main ayunan. Penyair besar Du Fu (杜甫) dalam syairnya Cengbeng (清明) menulis, “Sepuluh tahun sepak takrau jaraknya jauh, ayunan di manapun mainnya sama.”   Jika pada zaman Tang () Hari Makan Dingin dan Cengbeng didampingkan, bahkan posisi Cengbeng sedikit di bawah Hari Makan Dingin, maka lain halnya pada zaman Song (), pada zaman itu selain larangan pasang api tetap milik Hari Makan Dingin, hampir semua fungsi Hari Makan Dingin telah digantikan oleh hari Cengbeng.
          Meng Yuanlao (孟元老) pada zaman Song () dalam karyanya Catatan Impiani Ibukota (《东京梦华录》) mencatat, orang Song Utara pada hari Cengbeng semuanya pergi ke kuburan membersihkannya dan menyembah leluhur di sana. Prihal tujuan berziarah dan upacara kongkretnya juga ada yang menjelaskannya khusus pada zaman itu. Di antaranya Wu Zimu (吴自牧) pada zaman Song Selatan (南宋) dalam karyanya Catatan Impian Liang (梦梁录) menjelaskan bahwa tujuan orang-orang pergi ke luar kota berziarah adalah mencurahkan perasaan rindu dan hormat kepada leluhur. Berziarah sebagai materi penting hari Cengbeng terus diturunkan, sampai pada zaman Ming () dan Qing (), suasananya lebih semarak lagi.
          Pada hari Cengbeng burung-burung beterbangan pepohonan dan rumput menghijau, angin sepoi-sepoi matahari bersinar lembut, orang-orang yang sudah berdiam di rumah selama musim dingin tiga bulan, sudah bisa pergi ke luar, menikmati musim semi, menghirup udara semi.   Cengbeng di Sungai Bian  (清明上河图) lukisan karya pelukis berbakat Zhang Zeduan (张择端) pada zaman Song () dengan garis yang berani tetapi teliti menggambarkan kegembiraan orang-orang yang pulang berziarah. Zhou Mi (周密) pada zaman itu dalam bukunya Peristiwa Lama Rimba Silat (《武林旧事》) lebih merinci lagi mencatat keramaian orang-orang Lin’an (临安, sekarang Hangzhou 杭州) berziarah sambil tamasya musim semi pada hari Cengbeng.
          Sampai pada dinasti Qing (), Cengbeng tetap merupakan hari raya penting bagi masyarakat luas. Pan Rongbi (潘荣陛) pada zaman Qing () dalam karyanya Catatan Tahunan Ibukota (《帝京岁时纪胜》) mencatat keadaan kota Beijing (北京) pada hari Cengbeng, pria wanita ibukota, tua muda, berbondong-bondong berziarah ke luar kota. Keluarga yang kaya, membawa kotak makanan dan alat sembahyang (hio, lilin, macam-macam kertas bakaran dan lain-lain), naik kereta atau tandu perginya. Sampai di kuburan, orang-orang membersihkan dan memperbaiki kuburan, tidak lupa menambah tanah. Selesai sembahyang, orang-orang menerbangkan laying-layang yang dibawa, bertanding keluarga mana yang level pembuatan dan permainannya paling tinggi. Pada hari tersebut, ada kebiasaan menyelipkan ranting willow (柳枝), maka kelihatan orang yang pulang berziarah di badannya terselip sedikit ranting willow (柳枝). Sampai pada dinasti Ming () dan Qing (), Hari Makan Dingin sudah dilupakan pada umumnya, jadi hari raya musim semi, selain Tahun Baru Imlek dan Capgome, terhitunglah Cengbeng atau Qingming (清明).


Menyembah Leluhur dan Membersihkan Kuburan

          Menyembah leluhur dan membersihkan kuburan adalah materi penting pada hari Cengbeng. Begitu Cengbeng tiba, orang-orang sibuk pergi ke kuburan membersihkannya dan menyembah leluhur di sana, seperti pepatah masyarakat Hubei (湖北), “Bulan tiga hari Cengbeng hujan terus, semua keluarga pergi ke kuburan leluhur.” Tidak peduli pinggiran kota atau desa, di manapun orang-orang pergi ke kuburan membersihkannya dan menyembah leluhur di sana, suasananya ramai sekali. Sudah barang tentu raja dan orang istana pergi berziarah dengan sangat hikmat dan meriah, rakyat jelatapun banyak yang membawa kotak makanan dan minuman, membawa hio dan lilin dan lain-lain keperluan sembahyang. Hari berziarah tidak harus tepat pada hari Cengbeng, boleh maju tiga hari atau mundur empat hari, asal masih dalam suasana Cengbeng. Maka ada pepatah “Menyembah leluhur pada hari Cengbeng, boleh maju tiga, boleh mundur empat.” Kebiasaan ini sangat memudahkan penduduk kota, tidak usah berdesak-desakan pada satu hari.

          Berziarah mencakup dua materi: pertama adalah gantung kertas bakar uang, kedua adalah renovasi kuburan. Sebelum dinasti Tang () sudah ada tradisi membakar uang untuk leluhur, tetapi karena pada Hari Makan Dingin ada larangan memasang api, sembahyang di kuburan tidak boleh ada bakar-bakaran, maka kertasnya disebar di kuburan atau digantung di pohon sekitar, ada juga yang diletakkan di kepala kuburan dengan ditindih tanah, maksudnya anak cucu mengirim ongkos untuk leluhur. Kebiasaan persembahan tanpa api ini pernah mendapat celaan beberapa orang, penyair Wang Jian (王建) pada zaman Tang () dalam karyanya Syair Makan Dingin (《寒食行》) menulis, “Tiga hari tiada api membakar uang kertas, bagaimana uang itu bisa sampai ke akhirat?” Namun di kalangan masyarakat sekali kebiasaan terbentuk, kadang-kadang tetapi sering menjadi tradisi tertentu, walau di generasi berikutnya tidak ada lagi larangan memasang api, tradisi ini tetap bertahan, maka “gantung kertas” masih menjadi bagian dari sembahyang kubur. Seiring dengan longgarnya larangan memasang api dan maraknya berziarah pada hari Cengbeng, waktu sembahyang kubur, orang-orang tidak lagi merasa tabu membakar uang kertas, apa lagi Cengbeng adalah hari mendapatkan api baru, “api baru di depan dewa membakar hio di hiolo (tempat menancapkan hio), sudah barang tentu, ada hasyatnya. Alhasil, membakar uang kertas dan menggantung uang kertas sama-sama dilakukan.
          Renovasi kuburan, menambah tanah baru, menyiangi rumput liar adalah kegiatan yang satu lagi dalam ramgka berziarah. Sebelum datang hujan, orang-orang memanfaatkan saat sembahyang merenovasi kuburan, pada satu pihak telah menyelamatkan leluhur, di pihak lain juga telah mencurahkan budi baktinya. Masyarakat zaman Tang () sangat mementingkan kebiasaan ini. Penyair Wang Jian (王建) pada zaman itu menulis dalam syairnya, “Ada onggokan tanah lama tiada tambahan tanah baru, tulang belulang dalam kubur mungkin tak beranak cucu”, dari ada atau tidak adanya tanah baru dapat memastikan keberadaan anak cucu sang penghuni kubur. Sampai sekarang masih ada beberapa desa yang memastikan keberadaan anak cucu dari ada atau tidak adanya yang datang berziarah. Pepatahnya, “Ada anak cucu, ada kiriman; tiada anak cucu, kuburan gundul.” Di masyarakat juga ada pepatah tekanan berziarah, “Cengbeng tidak berziarah, reinkarnasi jadi babi atau anjing.” Sungguh nasehat serius bagi orang-orang yang coba-coba tidak melaksanakan kewajibannya berziarah.

          Menyembah leluhur pada hari Cengbeng selain berziarah ke kuburan atau “sembahyang di gunung”, pada abad penerusnya masih ada “sembahyang di kelenteng”. Sembahyang ini merupakan perkumpulan satu marga, ada daerah yang menamakannya “Kumpul Cengbeng” atau “Pesta Makan Cengbeng”. Setelah selesai menyembah leluhur, kepala marga memimpin rapat musyawarah perkara besar dalam marga tersebut, memberikan apresiasi atau sanksi, akhirnya ramah tamah makan minum bersama, dengan maksud bersama-sama menikmati rejeki dari leluhur dan mempererat persatuan. Sebetulnya kebiasaan itu sejak dahulu sudah ada, dalam Zhou Li • Da Zongbai (《周礼•大宗伯》) terdapat tulisan “ Dengan makan minum bersama mengakrabkan saudara dalam satu marga”. Dalam Kitab Syair • Gongliu (《诗经 • 公刘》) terdapat kalimat “Tangkap babi dari kandangnya, dibuat hidangan lezat dengan gelas arak besar, dimakan diminum bersama, semua warga bersatu dalam satu marga.” Pada abad berikut, biaya Kumpul Cengbeng diambil dari sewa sawah marga yang tadinya warisan leluhur kemudian sudah menjadi milik marga bersama.
          Cengbeng jatuh di musim semi yang sarat kehidupan, orang-orang pada satu pihak bersyukur atas rejeki leluhur yang diturunkan, sementara itu juga dengan cara menambah tanah baru, merenovasi kuburan, menggantung dan membakar uang kertas dan lain-lain memperlihatkan kesuburan generasi penerus. Konon leluhur istirahat tenang di dalam kuburan, dapat melindungi anak cucunya terus subur, dan kesuburan anak cucunya sebaliknya dapat menjamin ketentraman leluhur dalam kubur, juga tidak terputusnya api hio. Dengan demikian, kuburan leluhur bukan hanya sumber jiwa kehidupan, melainkan juga simpul titik kontak perasaan, di masyarakat tradisional, di manapun seseorang berada, selalu merindukan kampung halaman dan kuburan leluhur.  


Tamasya Musim Semi Injak Alam Hijau

          Injak alam hijau, juga disebut tamasya musim semi, menjenguk musim semi, mencari musim semi. Pada zaman dahulu, tanggal 2 bulan 2 Imlek adalah Hari Injak Alam Hijau. Pada hari itu, orang-orang pada ke luar kota memetik daun bulu ayam (蓬叶), menyiapkan sajian sembahyang, uang kertas dan  petasan untuk merayakan ulang tahun dewa tanah. Kemudian, karena hari Cengbeng berziarah kebetulan sedang indahnya suasana musim semi, rumput dan pepohonan menghijau, sawah ladang menghijau, bunga liar mekar semerbak baunya, peziarah sering “selesai menangis di kuburan, tidak langsung pulang, malah memilih tempat gelar tikar, duduk bersama, minum sampai mabuk.”. Cengbeng, dari acara tunggal menyembah leluhur di kuburan, bertambah kegiatan yang satu lagi, yaitu tamasya musim semi injak alam hijau.

          Maksud paling dasar kegiatan di alam bebas ini adalah mengadaptasi musim cuaca, pada musim cuaca ini vitalitas bangkit kembali, semua makhluk memperlihatkan kehidupan, manusia menyeauaikan diri secara subjektif, melancarkan aliran musim cuaca yang alami. Injak alam hijau, main ayunan, tarik tambang, menerbangkan layang-layang dan lain-lain, semuanya merupakan kegiatan membantu melampiaskan energi. Sampai sekarang, di provinsi Shandong (山东) masih ada kegiatan yang seperti ini: ketika tamasya semi di luar kota, anak-anak meniup pluit terbuat dari daun willow, atau menengadah menghembuskan udara keras-keras ke  atas, itu semua untuk membuang api dalam.
          Injak alam hijau pada hari Cengbeng, berasal dari kebiasaan bertamasya pada musim semi zaman dahulu sekali. Dalam Lunyu • Xianjin (《论语•先进》) tercatat percakapan antara Konghucu atau Kongzi (孔子) dan murid-muridnya Zi Lu (子路), Zeng Xi (曾皙), Ran You (冉有), Gong Xihua (公西华). Ketika Konghucu atau Kongzi (孔子) menanyakan keinginan Zeng Xi (曾皙), dia menjawab, “Pada akhir musim semi, karena musim itu hampir berakhir, kami 5 atau 6 orang dewasa dan 6 atau 7 orang anak-anak, mandi di kali Yi (沂河), bertiup angin sambil mohon turun hujan, pulangnya menyanyi-nyanyi.” Perkataan Zeng Xi (曾皙) membuktikan bahwa pada zaman dahulu sudah ada kebiasaan mandi di luar dan injak alam hijau pada musim semi. Injak alam hijau pada hari Cengbeng sekarang, sebetulnya berasal pada zaman dahulu dan merupakan penurunan kebiasaan zaman dahulu.
          Pada zaman Han Barat (西汉), baginda Wu (武帝) menjamu para menteri di Sungai Qu (曲江), orang ibukota pada bertamasya ke hulu sungai tersebut dan pavilyun di sana. Pada hari Cengbeng di zaman Tang (), para wanita Chang’an (长安) bertamasya musim semi, jika bertemu bunga bagus, mereka menggelar tikar di tanah berumput, menyediakan tempat duduk, dan menggantung rok merah di pohon sekitar, sebagai tirai makan bersama. Injak alam hijau dapat mengolah perasaan seseorang, membuatnya merasa lega dan bersemangat. Membicarakan injak alam hijau, orang-orang akan teringat peristiwa penyair Cui Hu (崔护) pada zaman Tang () itu bertamasya ke desa Chengnan (城南庄) pada hari Cengbeng. Saat injak alam hijau ke desa Chengnan (城南庄), Cui Hu (崔护) kehausan, lalu dia minta minum pada seorang gadis desa. Pada hari Cengbeng tahun berikutnya, Cui Hu (崔护) datang lagi ke desa Chengnan (城南庄), namun gadis itu telah meninggal karena merindukan Cui Hu (崔护). Karena terharu, Cui Hu (崔护) menulis syair Tamasya ke Chengnan (《游城南》): “Hari ini tahun lalu di pintu ini, wajah ayu seindah bunga persik. Sekarang entah di mana wajah ayu, hanya bunga persik mekar ditiup angin semi.” Sungguh mengharukan!
          Pada zaman Song (), berpusat pada berziarah dan injak alam hijau, terbentuklah kegiatan hiburan ukuran besar. Meng Yuanlao (孟元老) pada zaman itu dalam karyanya Catatan Impian Ibukota (《东京梦华录》) mencatat kegiatan hiburan pada hari Cengbeng di ibukota Bianjing (汴京, sekarang Kaifeng 开封): “Semua pinggiran kota ramai seperti pasar, kadang-kadang di bawah pohon, atau di antara taman, orang menggelar tikar menyiapkan makanan dan minuman, saling tawar-menawarkan. Penyanyi dan penari se ibukota, memenuhi semua tempat, ikut berpesta, sampai malam baru pulang, masing-masing membawa macam-macam makanan antara lain zaogu (栆锢), chuibing (炊饼), huangpang (黄胖), diaodao (掉刀) dan bunga cantik serta buah langka, masih ada mainan anak desa, telur bebek, anak ayam dan lain-lain. Semua itu dinamakan “hadiah dari luar pintu.”
          Catatan Impian Liang (《孟梁录》) karya Wu Zimu (吴自牧) pada zaman Song () mencatat kebiasaan hari Cengbeng di Lin’an (临安, sekarang  Hangzhou 杭州): “Yang berpesta di pinggiran kota, biasanya di taman-taman yang ada bunga ajaib dan pohon langkanya; yang berpesta di danau, biasanya naik kapal pesiar berhias, didayung pelan-pelan, menikmati pemandangan sekitar. Pada hari itu, juga ada lomba perahu naga, semua penduduk kota, tidak peduli miskin atau kaya, datang ke tempat pesta yang mengumandangkan musik dan lagu dengan volume suara keras, ditambah bunyi genderang dan tiup-tiupan yang menggoncangkan langit, sekalipun Jinming Chi (金明池) di ibukota juga tidak seramai itu.
          Cengbeng di Sungai Bian  (《清明上河图》) lukisan Zhang Zeduan  (张择端) pada zaman Song () menggambarkah pemandangan di kedua tepi Sungai Bian (汴河) di ibukota Bianliang (汴梁, sekarang Kaifeng 开封) serta suasana orang-orang menikmati hiburan setelah berziarah ke kuburan. Tokoh pada lukisan itu berjumlah 55.000 orng, hewan lebih  dari 50 ekor, perahu lebih dari 20 buah, kereta dan tandu juga lebih dari 20 buah. Orang-orang hiruk-pikuk, berdesak-desakan, macam-macam jenis usaha berkumpul di sana, benar-benar mengejawantahkan suasana acara hiburan injak alam hijau.
          Injak alam hijau pada zaman Ming (), dilakukan langsung setelah selesai sembahyang di kuburan. Ringkasan Pemandangan Ibukota (《帝京景物略》) karya Liu Dong (刘洞) dan Yu Yizheng (于奕正) menulis, “Hari Cengbeng tiba, orang-orang memetik ranting willow, bertamasya ke Jembatan Gaoliang (高梁桥), kegiatan ini disebut injak alam hijau. Apa lagi yang datang dari jauh, hari sembahyang sekalian dilanjutkan dengan hari tamasya musim semi.
          Yang paling menarik dalam kebiasaan injak alam hijau adalah tancap willow dan pakai willow (插柳戴柳).


Pakai Willow dan Tancap Willow

          Tancap willow dan pakai willow adalah kegiatan tradisional yang erat hubungannya dengan berziarah dan injak alam hijau pada hari Cengbeng zaman dahulu. Tancap willow, atau ditancap di cucuran atap, atau di tancap di tandu dan kereta, atau ditancap di belahan baju anak; pakai willow, atau diselip di rambut wanita, atau dibuat lingkaran dipakai di kepala. Di beberapa daerah, bahkan ada kebiasaan mencampurkan tunas muda willow dengan terigu untuk dibuat menjadi kue.

          Adat tancap willow dan pakai willow mungkin ada hubungannya  dengan vitalitas yang kuat dari pohon willow. Pohon willow adalah tumbuh-tumbuhan yang sangat kuat vitalitasnya, ditancapkan di mana saja dapat hidup dan tumbuh cepat. Mungkin oleh karena itulah orang-orang menganggap ada keajaibannya, tambah lagi dahan dan rantingnya mudah ditancap atau dipakai, maka terjadilah kebiasaan tancap willow dan pakai willow. Menurut catatan Youyang Zazu (《酉阳杂俎》) karya Duan Chengshi (段成式) pada zaman Tang (): “Pada tanggal 3 bulan 3, baginda Gaozong (唐高宗) memberi para menteri  lingkaran willow, konon dapat menangkal racun kalajengking.” Dalam Kitab Tang • Riwayat Li Shi (《唐书•李适传》) juga terdapat catatan “lingkaran willow mengusir penyakit”, sehingga ada yang beranggapan bahwa memakai lingkaran willow mulai ada pada zaman Tang (). Fucha Dunchong (富察敦崇) pada zaman Qing () dalam karyanya Catatan Tahunan Ibukota • Cengbeng (《燕京岁时记 清明) menulis, “Prihal pakai willow, dimulai pada ketika  baginda Tang Gaozong (唐高宗) mengadakan ibadah (袱禊) mohon rejeki dan jauhkan mala di tepi Sungai Wei (渭水) pada tanggal 3 bulan 3 Imlek memberi para menteri lingkaran willow, katanya dapat menangkal racun kalajengking.”
          Setelah zaman Tang (), tancap willow pakai willow menyebar ke seluruh negeri. Menurut catatan Sejarah Lima Zaman • Prakata Zhou Belakang (《五代史•后周序》), semua keluarga di daerah Changjiang (长江) dan Huaihe (淮河) menancapkan willow di pintu pada Hari Makan Dingin; Catatan Impian Ibukota (《东京梦华录》) karya Meng Yuanlao (孟元老) pada zaman Song () mencatat: “ Sehari sebelum Hari Makan Dingin, disebut Hari Masak Matang, orang-orang membuat kue zaogu (枣锢) dan feiyan (飞燕), dirangkai dengan dahan willow, ditancapkan pada kusen pintu; Catatan Impian Liang (《梦梁录》)karya Wu Zimu (吴自牧) pada zaman Song () mencatat: “Hari Cengbeng jatuh pada bulan 3, dua hari sebelumnya disebut Hari Makan Dingin, di ibukota terhitung 105 hari setelah musim dingin tiba. Pada hari itu, semua keluarga menancapkan dahan willow di pintu, namanya “mata terang”. Tidak peduli pejabat atau rakyat jelata, minkin ataupun kaya, jika ada ABG yang belum dipakaikan topi khusus, pada hari itu rambutnya disisir ke atas, dinaikkan, artinya sudah dewasa.” Peristiwa Lama Rimba Silat (《武林旧事》) karya Zhou Mi (周密) pada zaman Sing () juga mencatat: ”Tiga hari sebelum Cengbeng namanya Hari Makan Dingin, pada hari itu semua penduduk menancapkan dahan willow di cucuran atap, meskipun kecil dan lunak, namun hijau dan menyenangkan, keluarga kaya menambahkan kue zaogu (枣锢) pada rangkaian willow, kebanyakan dahan willow diambil dari tepi danau.” Pada zaman Ming (), tancap willow pakai willow masih ngetren, Ringkasan Pemandangan Ibukota • Lapangan Semi (《京都景物略 春场) karya Liu Dong (刘洞) dan Yu Yizheng (于奕正) pada zaman Ming () mencatat kebiasaan  orang yang bertamasya injak alam hijau harus memakai willow di rambutnya.
          Zaman Qing () mewarisi kebiasaan tancap willow pakai willow dari zaman Tamg () dan Song (), berlanjut sampai pada zaman Minguo (民国). Contohnya Catatan Adat Seluruh Tiongkok (中华全国风俗志) mencatat: di daerah sekitar Hangzhou (杭州) provinsi Zhejiang (浙江), “dua hari sebelum Cengbeng namanya Hari Makan Dingin, semua keluarga menancapkan dahan willow di cucuran atapnya, hijau menyenangkan. Pria wanita juga memakai ranting willow di rambutnya, karena ada pepatah mengatakan, ‘Hari Cengbeng tidak pakai willow, wajah muda menjadi peot beruban’ dan lain-lain”; beberapa daerah di provinsi Anhui (安徽) “pada hari Cengbeng, semua keluarga pintunya ditancapi dahan willow baru, semua percaya dapat mengusir setan penyakit. Menggantungkan uang kertas di pohon kuburan, konon dapat mengantar setan liar pergi jauh”; beberapa daerah di provinsi Hunan (湖南) pada hari Cengbeng juga “masing-masing keluarga, di pintunya pasti ditancapi sebuah dahan willow”.
          Oleh karena ada kebiasaan tancap willow pakai willow , maka pada hari itu di beberapa daerah ada kebiasaan menjual willow. Menurut catatan Catatan Qing Tahun Jiajing (《清嘉录》) karya Gu Lu (顾禄) pada zaman Qing (), di provinsi Jiangsu (江苏) dan sekitarnya “pada hari Cengbeng di jalan banyak penjual keliling menjajakan dahan willow, penduduk membelinya, menancapkannya di pintu. Petani menancapkan dahan willow dengan harapan turun hujan, jauhi kekeringan”, maka ada pepatah “cucuran atap ditancapi willow, petani jangan harap cuaca cerah”, inilah maksudnya. Wanita di daerah Jiangsu (江苏) membuat bola untuk diselipkan di rambut dengan harapan awet muda, ini juga sangat menyemarakkan kebiasaan menjual willow.


Bermain Ayunan

          Hari Cengbeng adalah hari raya penting dalam musim semi yang bersifat hiburan, bermain ayunan merupakan suatu cabangnya. Ayunan sudah dimainkan lama sekali, pada zaman Selatan-Utara (南北朝) sudah sangat populer.

          Menurut catatan kitab kuno, ayunan diciptakan oleh suku kuno Shanrong (山戎), kemudian, ketika Qi Huangong (齐桓公) menyerang suku Shanrong (山戎) ke utara, membawa pulang permainan ini, sejak itu ayunan berangsur-angsur menjadi populer di Tanah Tiongkok. Ini adalah anggapan yang turun-temurun.
          Di kalangan suku Lahu (拉祜), juga terdapat egenda mengenai asal-usul ayunan, yang sarat warna dongeng. Ceritanya, tiap kali tahun baru, semua desa membuat rak kayu, untuk menggantung babi yang mau dipotong. Babi tidak terima nasibnya yang begini, berpikir dalam hatinya, “Mengapa saya harus digantung oleh manusia? Apakah memang pantas saya dipotong?” Babi itu marah sekali, menggugat ke hadapan Dewa Langit, mohon tiap tahun baru, manusia juga harus digantung, supaya sama-sama merasakan “nikmat”nya digantung. Setelah mendengarkan gugatan sang babi, Dewa Langit merasa masuk akal, lalu menurunkan perintah, tiap tahun baru, manusia juga harus digantung, supaya adil. Manusia kewalahan, kalau tidak digantung, melanggar perintah Dewa Langit, dosanya semakin besar; tapi kalau digantung, mana mungkin orang diperlakukan seperti babi? Ketika tidak berdaya itu, tiba-tiba ada seorang bijak mendapatkan akal, tidak melanggar perintah Dewa Langit, juga tidak kehilangan wibawa manusia. Dia membuat rak kayu yang tinggi di lapangan, sebilah papan terikat dua utas tali diikatkan ke kayu yang melintang, orang boleh berdiri atau duduk di papan itu. Dewa Langit mengirim bawahannya memeriksa, kelihatan manusia sudah menjalankan perintah, jadi tidak diusut lagi. Sejak itu, suku Lahu (拉祜) memiliki kebiasaan bermain ayunan pada hari tahun baru.
          Ayunan masuk ke daerah aliran Sungai Changjiang (长江) pada zaman Selatan-Utara (南北朝), menjadi suatu permainan perioda Hari Makan Dingin dan Cengbeng setiap tahunnya, selanjutnya dari kebiasaan menjadi tradisi. Catatan Tahunan Jingchu (荆楚岁时记) karya Zong Jing (宗憬) zaman Selatan (南朝) mencatat, “Pada musim semi, mengikatkan tali panjang ke rak kayu tinggi, bawahnya sebilah papan, pria wanita duduk atau berdiri di atasnya, lalu didorong dan berayun, namanya bermain ayunan.” Sampai pada zaman Tang (), Kebiasaan bermain ayunan pada hari Cengbeng lebih populer lagi. Baginda Xuanzong (唐玄宗) Li Longji (李隆基) adalah seorang raja yang suka bermain, menurut catatan Peristiwa Awal Tahun Tianbao (《开元天宝遗事》), tiap tahun Hari Makan Dingin tiba, di istana didirikan banyak rak ayunan, diperuntukkan selir dan dayang bermain sepuasnya. Mereka mengenakan busana berwarna, berayun naik turun  di udara, bagaikan bidadari turun dari langit. Baginda Xuanzong (唐玄宗) tercengang menontonnya, menamakannya “permainan setengah bidadari”.
          Bermain ayunan pada hari Cengbeng, pemainnya utamanya anak gadis, mereka bagaikan bidadari molek yang menari dan berterbang di udara, meninggalkan jejak kurva yang elok di udara. Panggung ayunan ini menjadikan gadis yang menari di udara objek tontonan yang mempesona, menjadikannya suatu karya seni yang daya tariknya luar biasa. “Menyanyi menari dalam keharuman, berayun-ayun di antara pepohonan, angin timur dari jauh datang sepoi-sepoi, bunga-bunga menunduk mengaku kalah.” Kecantikan alami gadis-gadis ini, mekar dan menyilaukan dalam sorotan mata yang terpesona, dalam pujian dan decakan. Kecantikan jiwa yang baru mekar ini sudah pasti membuat pemuda di sana tergerak hatinya, jatuh cinta dalam pandangan pertama, sekali dikejutkan si cantik, seumur hidup tidak bisa melupakannya, betapa banyak cerita romantis, bermula di gelanggang ayunan.
          Li Zhen (李祯) pada zaman Ming () dalam Obrolan Semalam Suntuk • Catatan Nonton Ayunan (《剪灯余话 秋千会记) menggambarkan jodoh dari ayunan. Pejabat dinasti Yuan () Beiluo (孛罗) tinggal di Jishui Tan (积水潭) Beijing (), di belakang rumahnya ada kebun aprikot. Pada musim semi tiap tahun, gadis-gadis di keluarganya bermain ayunan di kebun aprikot itu, namanya “kumpulan ayunan”. Seorang pemuda naik kuda lewat di luar kebun, mendengar di dalam ada suara tertawa riang, lalu dia mengintip dari punggung kuda, penglihatannya terpaku pada seorang gadis yang cantik luar biasa, lama sekali dia menatap, sampai diketahui oleh penjaga kebun, dia melarikan diri. Begitu sampai di rumah, pemuda itu langsung sakit rindu, ibunya terpaksa mengirim mak comblang melamar ke rumah pejabat itu. Untung pejabat tersebut pengertian, dia menyuruh pemuda itu membuat sebuah puisi bertemakan ayunan berformatkan Pusaman (《菩萨蛮》). Pemuda itu langsung mengungkap: “Duduk di papan bergambar jari lentik memegang tali merah, angin timur bertiup ibarat burung walet terbang ke atas. Lomba cantik adu tinggi, eratkan tali rok . . . .” Pejabat itu mengagumi bakatnya, lalu mengawinkan anak gadisnya dengan pemuda itu.

Menerbangkan Layang-layang

          Layang-layang adalah sebuah ciptaan Tiongkok kuno. Layang-layang pada awalnya terbuat dari kayu, namanya “elang kayu” (木鸢). Menurut catatan Hanfeizi (《韩非子》), kira-kira 400 tahun sebelum Masehi, pakar pikir Mozi (墨子) pernah membuat “elang kayu”(木鸢). Dahulunya Mozi (墨子) pernah jadi tukang kayu, konon tukang kayu yang terkenal bernama besar Lu Ban (鲁班) adalah muridnya. Dalam Mozi • Pertanyaan Lu  (《墨子•鲁问篇》) terdapat catatan begini: “Gongshuzi (公输字), yaitu Gongshu Ban (公输般) alias Lu Ban (鲁班) membentuk burung dari kayu, lalu diterbangkan, tiga hari tidak turun”. Huainanzi •Adat Qi (《淮南子 齐俗) juga mencatat: “Lu Ban (鲁班) dan Mozi (墨子) membuat elang dari kayu lalu diterbangkan.” “Elang kayu buatan Mozi (墨子) dan Lu Ban (鲁班) adalah layang-layang pertama di dunia.

          Waktu perang menentukan antara Chu () dan Han () di Gaixia (垓下), jenderal Han () Han Xin (韩信) menyuruh tukang membuat layang-layang ukuran super jumbo, seorang yang super ringan menempel di sana, lalu diterbangkan ke atas markas tentara Chu () pada malam hari, orang itu menyanyikan lagu Chu (楚歌) yang sangat memilukan. Tentara Chu () yang sudah berperang bertahun-tahun, jauh dari kampung halaman, saat itu dalam kepungan tentara Han (), tiba-tiba mendengar lagu kampung halaman yang memilukan, tidak tahan ikut menyanyi, sedih dan pilu, lagu Chu () berkumandang di seluruh markas, menghancurkan semangat perang seluruh tentara Chu () , akhirnya tentara Chu () kalah total, Xiang Yu (项羽) yang tadinya jagoan dapat mencabut gunung, terpaksa mengaku kekalahan dan bunuh diri di Sungai Wu (乌江). Tinggallah cerita mengharukan turun temurun.
          Kira-kira pada zaman Han Barat (西汉), elang kayu dibuat dari bambu dan kain sutera, kemudian diganti dengan kertas, maka, elang kayu diganti namanya menjadi “elang kertas” (纸鸢). Nama “elang kertas” ini pada waktu yang berbeda, di daerah berbeda, memiliki banyak “alias”nya, misalnya elang angin (风鸢), elang angin kertas kecil (纸鹞), elang angin kecil (风鹞), unggas angin (风禽), elang kecil (鹞子) dan lain-lain. Sekarang ini di Tiongkok Selatan masih banyak daerah yang menyebut layang-layang sebagai “elang kecil” (鹞子). Elang kertas pada awalnya digunakan sebagai alat perang. Menurut catatan Asal-usul Sesuati  (《事物纪元》) karya Gao Cheng (高承), pada tahun 190 M, ketika menyerbu kota musuh, jenderal Han () Han Xin (韩信) pernah menggunakan elang kertas menentukan jarak. Pada zaman baginda Wu dinasti Liang (梁武宗), jenderal pemberontak Hou Jingwei (侯景围) mengepung kota Taicheng (台城), ada orang kota yang membuat elang kertas membawa surat minta bala bantuan.
Sampai pada zaman Tang (), negerinya jaya rakyatnya sentosa, macam-macam hiburan di masyarakat berkembang pesat, elang kertas lebih banyak digunakan untuk hiburan. Kapan sih elang kertas diganti namanya menjadi “layang-layang”? Catatan Tanya Rumput (《询刍录》) karya Chen Yi (陈沂) pada zaman Ming () menulis: Li You (李邮) pada “Lima Zaman” (五代) membuat elang kertas di istana, di atasnya dipasamg bambu dan senar kecapi, bila berbunyi tertiup angin, suaranya mirip kecapi, maka diberi nama “kecapi angin” atau “fengzheng” (风筝), di Indonesia lazim disebut “layang-layang”. Padahal, jauh pada zaman Selatan-Utara (南北朝), dalam Catatan Gaozu (高祖记) terbitan dinasti Liang (), juga Riwayat Tian Yue (《田悦传》) terbitan dinasti Tang (), kata “kecapi angin” atau “fengzheng” (风筝) sudah sering ditampilkan. Misalnya syair Kecapi Angin/Fengzheng  (《风筝》) karya Gao Jiao (高骄) pada dinasti Tang ():

Di malam sunyi suara senar berbunyi di udara biru,
Nadanya tergantung angin yang datang dan pergi.
Samar-samar mirip sebuah lagu mau disimak,
Tiupan angin mengubahnya menjadi lagu lain.

Puisi ini tidak hanya menggambarkan kegembiraan orang-orang yang menerbangkan layang-layang di malam hari, sekaligus menjelaskan layang-layang pada waktu itu sedah dipasang senar kecapi.
Pada zaman Song (), menerbangkan layang-layang semakin populer di masyarakat, sudah ada orang yang khusus jual-beli layang-layang. Di masa peralihan zaman Ming () ke zaman Qing (), layang-layang mencapai era masnya. Konon penulis skenario sandiwara ternama Liang Chenyu (梁辰渔) pada zaman Ming () mahir membuat layang-layang, terutama membuat layang-layang phoenix terkenal di seluruh negeri. Suatu kali, layang-layang phoenis yang dibuatnya dari kain sutra berwarna diterbangkan, segera ada puluhan macam burang berterbangan di sekitarnya, persis seperti “seratus burung menyembah phoenix”(百鸟朝凤) .
Sampai pada zaman Qing (), menerbangkan layang-layang lebih populer lagi, sekitar hari Cengbeng, kakek-kakek dan anak-anak ramai menerbangkan layang-layang, saling lomba kemahiran. Catatan Menilik Elang Kecil Selatan dan Elang Utara (《南鹞北鸢考工记》) karya pengarang besar Cao Xueqin (曹雪芹), mencatat teknik pengikatan, penempelan, penggambaran dan penerbangan puluhan macam layang-layang. Buku tersebut sungguh membuka mata mereka yang membuat layang-layang.
Keistimewaan layang-layang adalah dapat dinikmati secara jarak dekat, juga dapat diterbangkan ke udara dinikmati secara jarak jauh. Dari jarak dekat disimak gambar dan warnanya, dari jarak jauh disimak bentuk dan imagenya, gambar dan kerangka serasi, imagenya hidup, daya tariknya hebat, menyenangkan hati.


Menyembah Dewa Ulat Sutera

Di desa-desa provinsi Jiangsu (江苏) dan Zhejiang (浙江), selain menyembah leluhur di kuburan dan injak alam hijau, masih ada kebiasaan menyembah dewa ulat sutera. Agama Tao beranggapan bahwa dewa ulat sutera adalah jelmaan dari dewa Xuanming (), konon, Raja Lingbao () mengasihani manusia susah senang tidak rata, memerintahkan dewa Xuanming (玄名真人) menjelma menjadi kupu-kupu sutera, mengajar manusia memelihara ulat sutera memintal benang dan menenun kain membuat pakaian, rakyat desa bersyukur, mendirikan kelenteng menyembahnya.

Tiap tahun Sacapme dan Cengbeng ada kebiasaan menyembah dewa ulat sutera. Nama kongkret dewa ulat sutera bermacam-macam di kalangan masyarakat. Desa sutera dahulunya percaya selir Huang Di (黄帝) yang bernama Leizu (嫘祖) yang pertama mengajar memelihara ulat sutera, disebutnya “Ibu Leizu” (嫘祖娘娘), namun di kalangan masyarakat, tidak terlalu poluler. Yang lebih dikenal adalah Ibu Kepala Kuda (马头娘), juga disebut Ibu Bunga Sutera (蚕花娘娘), Bibi Sutera (蚕丝仙姑), Nenek Raja Sutera (蚕皇老太), Budhisatwa Raja Maming (马明菩萨). Wujudnya seorang wanita kuno naik kuda, tangannya memegang sepiring kepompong, versi lain adalah seorang wanita memakai topi kepala kuda, menyandang kulit kuda, tangannya memegang sepiring kepompong. Catatan Keluarga Jiaxing (《嘉兴府志》) pada tahun Guangxu (光绪) dinasti Qing () mencatat: “Ibu Kepala Kuda, di kelenteng juga ada patungnya, wujudnya wanita naik kuda, namanya Budhisatwa Raja Maming (马明菩萨), penduduk desa banyak yang menyembahnya.”
“Wanita menjelma menjadi ulat sutera” (女化蚕) adalah dongeng terkuno di Tiongkok tentang asal-usul ulat sutera, awalnya di Kitab Gunung Laut (《山海经》), lengkapnya di Catatan Mencari Dewa (《搜神记》). Pengarang Catatan Mencari Dewa (《搜神记》) Gan Bao (干宝) adalah orang Haiyan (海盐), maka dongeng “wanita menjelma menjadi ulat sutera” tersebar paling luas di daerah itu, masyarakatnya paling percaya, sastra daerah juga paling benyak mengenainya. Syair Wanita Ulat Sutera (蚕妇诗) karya Li Zhaorong (李兆镕) pada zaman Qing () bunyinya: “Ibu muda di selatan memakai baju baru, bergandengan tangan dengan temannya naik ke atas, jika ingin tahun ini suteranya berlimpah-ruah, sembah dahulu Ibu Kepala Kuda”.
Ada daerah misalnya sekitar Wuzhen (乌镇) percaya Pangeran Bunga Sutera (蚕花太子). Ada yang percaya Bibi Tiga atau Sangu (三姑), kelanjutan dari Zigu (紫姑) dalam dongeng. Zigu (紫姑) terdapat dalam Kitab Tani (《农书》) karya Wang Zhen (王祯) pada zaman Yuan (), wujud Bibi Tiga atau Sangu (三姑) adalah tiga wanita naik satu kuda bersama. Di tiap kabupaten banyak juga desa yang percaya Lima Sakti Bunga Sutera (蚕花五圣) yang berkelamin laki-laki, wujudnya tiga mata enam tangan, mata tengah untuk melihat jauh. Mereka adalah kelanjutan dari Dewa Baju Hijau (青衣神) dalam dongeng “Semak Belukar Ulat Sutera” yang tersebar luas di Sichuan (四川), di daerah sekitar Haining (海宁) dan Haiyan (海盐) banyak yang menyembah patungnya.
Sebetulnya Lima Sakti Bunga Sutera (蚕花五圣) dan Ibu Kepala Kuda (马头娘), sering dicampur-baurkan oleh pemelihara ulat sutera. Cerita Ulat Sutera Huzhou (《湖蚕述》) karya Wang Rizhen (汪日桢) memetik satu paragraf dari Kitab Ulat Sutera Wuxing  (《吴兴蚕书》) sebagai berikut: “Penduduk menyembah dewa, tidak jelas dewa yang mana, hanya berdoa tidak tahu menikmati hasilnya, dengannya untuk membalas budi, tidak hanya mohon rejeki jauhkan mala. Ada lagi: ketika panen sutera, orang bekerja berat, perlu dihibur dengan makanan dan minuman, sering menyembah dewa dahulu baru bersama-sama menikmatinya. Ini juga termasuk satu cara.” Namanya mencari dukungan semangat, sebetulnya penghiburan terselubung. Maka ketika menyembah dewa ulat sutera, semua desa sutera harus membakar hio sutera, menyajikan makanan dan minuman, wanita yang berumur berdoa khusuk, mohon panen sutera berlimpah-ruah.
Pada awalnya desa sutera sering sekali menyembah dewa sutera, seperti yang diceritakan Catatan Keresidenan Huzhou (湖州府志), menetaskan telur ulat sutera, ulat tidur, keluar api, naik menjadi kepompong, memintal, setiap langkah proses harus sembahyang. Namun, dalam penurunan ke generasi berikut, kebiasaan sembahyang ini berangsur-angsur disederhanakan, sempai dengan sekarang, setahun tinggal dua kali. Pertama sekitar hari Cengbeng, ketika telur sutera menetas, peternak sutera mendirikan posisi Ibu Kepala Kuda (马头娘), meletakkan sepiring semut sutera di hadapannya, membakar hio tawar, disertai trisaji, sujud menyembah, namanya “menyembah dewa ulat sutera” (祭蚕神). Yang kedua, setelah selesai memintal atau panen kepompong, meletakkan sutera baru atau kepompong baru di hadapan posisi dewa, membakar hio dan lilin, disertai trisaji, sujud menyembah, namanya “berterima kasih kepada dewa ulat sutera” (谢蚕神). Di beberapa desa, ada kelenteng kecil, diisi patung atau gambar Ibu Kepala Kuda, namanya “Kelenteng Dewa Ulat Sutera” (蚕神庙). Perempuan di desa sutera, tidak peduli tua atau muda, ketika menyembah atau berterima kasih kepada dewa ulat sutera, semuanya harus memakai bunga dari kertas merah, namanya “bunga sutera” (蚕花), untuk menyatakan kekhusukan kita.



Menu Cengbeng

Satu hari (juga ada yang bilang dua hari) sebelum  Cengbeng, namanya Hari Makan Dingin. Pada hari itu, ada tradisi larangan pasang api, jadi mau tidak mau harus “makan dingin” (寒食).
Makan dingin, berbeda-beda namanya pada sejarah. Dalam Ilmu Penting Rakyat Qi (《齐民要术》) disebut “gelang imut” (细环饼), dalam Rangkuman Tumbuh-tumbuhan (《本草纲目》) disebut “pilinan ” (捻头). Dari catatan pembuatannya, tidak jauh berbeda dengan kue tambang  zaman sekarang, hanya lebih imut dan setelah dipilin dibentuk seperti gelang. Penganan begini dapat disimpan agak lama, enak dimakan dingin, dan berciri aroma yang khas. Ilmu Penting Rakyat Qi (《齐民要术》)memujinya “masuk mulut langsung lumer seperti salju”. Memang ini adalah makanan istimewa pada Hari Makan Dingin . Seiring dengan berjalannya waktu, makanan kecil ini sudah menerobos batas hari tertentu, menjadi makanan sepanjang tahun.
Lilao (醴酪) adalah bubur gandum yang dicampuri gula malton dan biji aprikot, sampai dengan dinasti Sui () dan Tang (), masih merupakan makanan utama pada Hari Makan Dingin.
Catatan Tahunan Jing-Chu (荆楚岁时记) mencatat: “Setelah 105 hari musim dingin tiba, akan ada angin kencang hujan lebat, hari itu disebut Hari Makan Dingin, tiga hari dilarang pasang api, untung sebelumnya sudah masak bubur gandum lilao (醴酪) satu kuali besar”. Catatan Yezhong (《邺中记》) juga mencatat: “ Sebelun makan dingin tiga hari sudah masak bubur gandum.”
Hari Cengbeng di zaman Song (), selain di jalan-jalan banyak yang jualan karamel, kue gandum, keju, pia susu dan lain-lain makanan jadi, banyak keluarga juga membuat sendiri onde isi kurma (枣锢) dan kue walet (飞燕), konon dahulunya adalah sajian untuk menyembah Jie Zitui (介子推). Bahkan ada keluarga zaman Ming () menyimpannya sampai musim panas tiba, lalu digoreng, diberikan kepada anak-anak, konon sudah makan gorengan tersebut gigi anak tidak akan berbolong.
          Ksrya Chen Yuanliang (陈元靚) Catatan Tahunan Luas (岁时广记) Bab 15 mengutip Catatan Total Lingling (《零陵总记》) mencatat satu lagi makanan khas Hari Makan Dingin yaitu “Nasi Hijau” (青隋饭): “Daun yangtong (杨桐), winter green (冬青) halus, lebih baik yang tumbuh di tepi air, daunnya diambil orang untuk mewarnai nasi, warnanya hijau dan berkilauan, hasyatnya menambah stamina. Nasi ini namanya nasi yangtong (杨桐饭), agama Tao menyebutnya nasi sari hijau (青精饭) atau nasi batu lapar (石饥饭).” Hari Makan Dingin dan hari Cengbeng membuat nasi hijau rupanya lebih populer di Tiongkok Selatan. Karya Lang Ying (郎瑛) Naskah 7 x Edit  (《七 修类稿》) Bab 43 membicarakan “gumpalan  hijau” yang dimakan pada Hari Makan Dingin.  Gumpalan hijau ini terbuat dari ketan diharumkan ketumbar, isinya bisa kurma tumbuk atau tausa. Waktu dikukus dialasi daun alang-alang, kalau sudah matang warnanya hijau menggiurkan, lagi pula mengandung wangi ketumbar dan alang-alang, sungguh merupakan makanan Cengbeng yang mengasyikkan.
Semua makanan hari Cengbeng ini memiliki satu ciri yang sama, yaitu bisa dimakan secara dingin.Catatan Qingjia (《清嘉录》) karya Gu Lu (顾禄) Bab 3 menjelaskan: “Sekarang banyak yang membuat gumpalan hijau atau teratai merah, semuanya dapat dimakan secara dingin, seakan-akan mewarisi larangan pasang api.” CatatanTahunan Ibukota (帝京岁时纪胜) karya Pan Rongbi (潘荣陛) mencatat makanan istimewa untuk Hari Makan Dingin yang lain: toge urat terigu, pucuk willow campur tahu, semuanya campuran dingin, bahkan pia Cengbeng tipis yang belakangan populer di Fujian (福建) dan Guangdong (广东), juga dimakan secara dingin. Dapat disimpulkan, sekalipun adat Hari Makan Dingin sudah pudar, semangatnya masih bertahan di menu Cengbeng.
Pada zaman Qing (), pada umumnya menu Cengbeng masih mewarisi makan dingin seperti zaman Tang () dan Song (). Namun, sudah ada sebagian orang yang tidak membatasi diri pada makan dingin, mereka mulai masak makanan menu panas.
 De Timur Laut (东北), semua keluarga membuat pia yang lebih banyak untuk dikonsumsi pada hari Cengbeng. Di Suzhou (苏州) dan Hangzhou (杭州) biasanya makan gumpalan hijau dan teratai merah. Di sekitar Chengdu (成都) provinsi Sichuan (四川) orang-orang membuat onde besar dari tepung beras, dirangkai dengan benang, pada hari Cengbeng menjualnya di depan kelenteng Senang, namanya gumpalan senang. Ada syair yang memuji: “Gumpalan senang di depan kelenteng Senang, siapa beli kwatirnya hilang.” Terbukti, banyak orang menyukainya. Makanan istimewa Hari Makan Dingin di Beijing (北京), selain toge urat terigu dan pucuk willow campur tahu, masih ada kumis naga yang tumbuh di sekitar Tiantan (天坛) untuk dilalap. Semua makanan ini selain berciri sesuai dengan musim cuaca, jaga mempertahankan suasana sederhana zaman dahulu, maka sangat disukai orang-orang. Menurut catatan sejarah, orang-orang pada zaman itu dapat menerimanya, bahkan banyak yang memujinya.   
          Selain makan dingin, orang-orang di Selatan maupun di Utara masih perlu masak makanan nusim semi, nabati ataupun hewani. Dalam Puisi Bambu Keuarga Wu (《吴门竹枝词》) karya sastrawan ternama di Suzhou (苏州) dan Hangzhou (杭州) pada zaman Qing () yang bernama Xu Dayuan (徐达源) terdapat kalimat: “Larangan pasang api turun temurun, teratai merah dan gumpalan hijau dipersembahkan kepada leluhur. Masakan matang mana mungkin menjadi gas bau, semua keluarga memasak rebung dan menggoreng ikan.” Terbukti, orang Suzhou pada waktu itu sudah menerobos batas makan dingin larang api, mulai makan rebung dan ikan hidup yang baru dijual pada musim semi, yang diolah dengan api panas. Meja makan hari raya di utara juga tidak mau ketingglan, bawang daun goreng mi pakai ikan, rebung masak lindung dan lain-lain masakan matang sudah menjadi hidangan lezat keluarga mampu di hari raya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar